Dimuat di Majalah Bobo |
Buku-buku Andaru
Gita
Lovusa
Andaru berjalan menuju kamarnya dan melihat tumpukan
buku yang berserakan. Sudah sejak lama, ia ingin memberikan sebagian buku-buku
yang sudah dibaca kepada orang yang memang ingin membacanya.
“Ma, aku mau kasih sebagian buku-bukuku yang sudah
lama. Kasih ke siapa ya, Ma?” tanya Andaru.
“Coba kamu cari tahu,” usul Mama.
Keesokan harinya di sekolah, Andaru menawarkan
buku-buku itu pada teman sebangkunya, Dindy. Sebelumnya ia sudah menuliskan
judul buku yang mau diberikan.
“Ini buku cerita anak bergambar, Din,” ujar Andaru.
“Gambarnya seru, ceritanya pendek. Kamu pasti suka!”
Dindy menggeleng, bahkan ia tak meminta Andaru untuk
membawa bukunya besok. Andaru tahu Dindy kurang suka membaca, tapi ia sedikit
berharap Dindy mau mencobanya.
Setelah pulang sekolah, Andaru mampir ke Warung
Kampung dekat sekolahnya. Ia membeli makanan kecil. Saat memilih-milih makanan
ringan, Andaru melihat dua anak perempuan yang sedang duduk di dekatnya. Dua
anak itu berpakaian kusam dan rambutnya terlihat kasar. Dari isi kardus yang
dipegang oleh anak yang lebih besar, Andaru menduga mereka mengumpulkan gelas
dan botol plastik bekas untuk dijual kembali. Andaru mendengar pembicaraan
mereka.
“Ini apa, Kak?” tanya anak berambut pendek.
“Kayaknya sih, buku cerita,” sahut kakaknya.
“Bagus.” Anak berambut pendek melihat buku yang
dipegangnya. Ia membalik-balik halamannya. Menurut Andaru, warna buku itu lusuh
dan sampul bukunya pun sudah rusak di sana-sini.
Andaru mendekati kedua anak perempuan itu. “Adik
suka baca buku, ya?”
Anak berambut pendek tampak kaget dengan kehadiran
Andaru. Ia diam dan mendekat ke kakaknya. “Ditanya tuh, Nalang suka baca
enggak?”
Nalang yang masih bersembunyi di balik bahu
kakaknya, sedikit mengangguk. Buku tadi tetap dipegangnya.
Wajah Andaru berubah ceria. “Pas! Kakak punya
buku-buku cerita untuk Nalang. Mau?”
“Mau..,” jawab Nalang dengan suara yang sangat
pelan.
“Besok ke sini lagi, ya. Kakak bawakan
buku-bukunya.”
Nalang memandangi kakaknya. “Kak Imung?”
“Sama Kak Imung juga.”
“Oke, besok kita bertemu di sini, ya,” seru Andaru
semangat.
Sambil berjalan pulang, Andaru terus memikirkan
kejadian hari ini. Bisa enggak ya, membuat kedua rencananya terwujud?
Di rumah, Andaru merapikan buku-buku yang mau
diberikannya. Jumlahnya ada dua puluh buku. Besok, ia berencana membawanya
semua ke sekolah.
***
Esok harinya, selain menggendong tas punggung,
Andaru juga membawa dua tas plastik yang berisi buku. Dindy memandanginya
heran. “Untuk apa bawa buku sebanyak itu, Ru?”
“Buku-buku ini mau kuberikan ke Nalang.”
“Nalang? Siapa itu?” tanya Dindy.
“Anak yang menemani kakaknya mengumpulkan gelas dan
botol plastik bekas dari tempat sampah, Din.”
“Hiiiy..,” ujar Dindy sambil menunjukkan ekspresi
jijik.
“Lho kok, hiiy? Nalang itu keren. Jangan lihat
penampilannya, lihat dong, kesukaannya.” Lalu Andaru menceritakan kejadian
kemarin saat pertama kali bertemu Nalang.
Dindy pun jadi penasaran dengan buku-buku yang
dibawa Andaru. “Nanti aku lihat bukumu ya, Ru!”
“Boleh. Tapi nanti kembalikan lagi, ke tas plastik,
ya!”
Sebelum bel masuk berbunyi, Dindy mengambil satu
buku. Meski kalimatnya sedikit, ia merasa enggan membacanya.
“Gimana?
Bagus kan, ceritanya?”
“Iya, iya, bagus,” ujar Dindy berbisik. Ia malu
mengakui kalau hanya melihat sekilas gambarnya.
“Nanti kalau kamu mau dan bisa, ikut aku yuk,
bertemu Nalang di Warung Kampung,” ajak Andaru.
Dindy mengangguk cepat. Ia bersemangat mendengar
Warung Kampung karena ada beberapa makanan yang disukainya di sana.
Sepulang sekolah, Andaru dan Dindy membawa
masing-masing satu tas plastik. Mereka berjalan menuju Warung Kampung. Dua
sahabat baik itu membeli beberapa makanan untuk dimakan di sana, sambil
menunggu Imung dan Nalang. Tak berapa lama, Nalang datang bersama kakaknya.
Nalang datang masih malu-malu, ia merangkul lengan
kakaknya. Andaru menyambut mereka dan mengajaknya duduk bersama. Lalu Andaru
mengangkat dua tas plastik ke atas meja. “Ini semua buat Nalang.”
Kakak beradik itu terkejut. “Semuanya, Kak?” tanya
Imung.
“Iya,” sahut Andaru mantap.
Tanpa suara, Nalang langsung mengambil satu buku.
“Eh, bilang dulu.” Imung mengingatkan.
“Enggak apa-apa. Memang buat Nalang, kok.”
Nalang yang masih berusia enam tahun dan belum
lancar membaca, asyik mengamati gambar di halaman itu satu per satu.
“Nalang begini, Kak, kalau ketemu buku. Enggak
bersuara,” sahut Imung, sedikit enggak enak pada Andaru karena Nalang belum
bilang apa-apa. “Terima kasih ya, Kak.”
Andaru mengangguk. Diam-diam, mata Dindy terpaku
pada Nalang.
Sepulangnya dari Warung Kampung, Dindy mencolek
lengan Andaru. “Ru, boleh enggak, aku mampir ke rumahmu sekarang?”
“Boleh. Kok tiba-tiba, Din?”
“Ehm..ini.. Aku mau lihat koleksi bukumu yang lain.
Siapa tahu ada yang aku suka. Boleh, kan?”
“Waaah, ya boleh sekali, Dindy. Yuk!”
Dalam hati, Andaru tersenyum. Selain sudah berbuat
kebaikan minggu ini, ia juga sudah memenuhi janji lamanya pada diri sendiri,
yaitu membuat Dindy tertarik membaca buku.[]