Dimuat di Kompas Anak |
Kejutan Tengah Malam
Tyas Widjati
Grusak!
Aku segera
mencari sumber suara tadi. Dari balik semak-semak, kulihat sosok tambun berbulu
yang sangat mencurigakan. Tanpa suara, kusergap dia dengan tiba-tiba.
“PETOK!!”
si tambun berteriak kaget. Ia berusaha terbang, tetapi tidak berhasil. Ketika
kukejar, ia lari tunggang-langgang meninggalkan halaman rumah.
“Fido!”
kudengar sebuah teriakan dari belakangku.
Aku menoleh
dan mendapati Ello sedang berdiri sambil berkacak pinggang.
“Kenapa
kamu kejar ayam Pak Seno? Dia kan hanya cari makan,” omelnya.
Aku
berusaha menjelaskan bahwa si tambun tadi adalah mata-mata, tapi Ello malah
menghardikku.
“Masuk ke
rumah!”
Dengan
sebal kuturuti perintahnya. Sebenarnya aku lebih suka berlarian di luar, meski
lidahku akan berkeringat setelahnya.
Sudah
hampir seminggu aku tinggal bersama Ello, tetapi anak itu belum juga
mempercayaiku. Berkali-kali kukatakan bahwa aku hanya ingin melindunginya,
seperti pesan Pak Toni.
Pak Toni
adalah seorang polisi yang bertugas melatihku sejak bayi. Dengan bantuannya,
aku bisa mengenali situasi bahaya dan gerak-gerik mencurigakan. Aku sangat
sayang dan hormat padanya.
Suatu hari,
Pak Toni mengajakku ke rumah ini.
“Fido,
mulai sekarang kamu akan tinggal bersama Ello, keponakanku,” kata Pak Toni.
Dengan
sedih, aku mengiyakan.
“Jaga dia
baik-baik, ya. Kamu harus selalu menuruti apa yang dia katakan. Ayo, kenalan
dulu.”
Pak Toni
menarik rantaiku mendekat. Aku berdiri sambil mengulurkan tangan, tapi anak itu
malah mundur selangkah.
“Tidak
apa-apa, Ell. Fido tidak akan menggigitmu. Dia adalah anjing yang terlatih.”
‘Ah anak
ini pemalu sekali,’ pikirku. ‘Mungkin aku harus berkenalan dengan cara
lain.’
Kudekati
kakinya lalu kujilat. Saat itu juga aromanya terekam dalam memoriku.
“Hiii…” dia
lari menjauh dengan ekspresi jijik dan takut. Pak Toni hanya tertawa.
Tadi pagi
aku ikut mengantar Ello ke sekolah yang letaknya tidak jauh dari rumah kami.
Dia berjalan bersama seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki.
“Ini
anjingmu, Ell?” si anak perempuan bertanya sambil menatapku baik-baik.
“Iya.
Namanya Fido. Menurut Omku, merawat anjing adalah salah satu terapi untuk
penderita cynophobia sepertiku,” Ello menjelaskan sambil memegang
rantaiku erat.
“Kamu masih
trauma gara-gara dulu pernah digigit anjing tetanggamu?” tanya anak laki-laki
satunya sambil sesekali menoleh ke arahku dengan waswas.
Ello hanya
mengangguk.
Wah, aku
baru tahu tentang cerita ini. Pantas saja, selama ini Ello selalu menjaga jarak
denganku.
“Tampang
anjingmu seram sekali, ya,” kata si anak perempuan.
“Iya juga
sih. Apalagi bulunya hitam legam dan badannya tinggi besar. Tetapi menurut Om
Toni yang sudah bertahun-tahun melatih rottweiler, mereka sebenarnya adalah
anjing yang baik hati dan setia. Tetapi insting pemburunya kadang sedikit
merepotkan. Jadi pemiliknya harus tegas.”
Jalanku
makin tegap dan dadaku makin membusung mendengar pernyataan Ello.
“Wah, kalau
punya bodyguard seperti Fido, pasti tidak ada yang berani menggangumu,
Ell,” sahut si anak laki-laki.
Sesampainya
di depan sebuah gedung bercat hijau, Ello menyuruhku pulang.
“Jangan
mampir kemana-mana ya,” pesannya. Aku menjilat tangannya sambil berpamitan.
Sekarang dia tidak keberatan bila aku melakukan itu.
“…Dan ingat!
Jangan kejar ayam Pak Seno lagi.”
Malam ini,
seperti biasa aku tidur di dekat tempat tidur Ello. Anak itu sudah terlelap
dari tadi. Sekitar tengah malam, aku mendengar suara aneh dari luar. Telingaku
langsung berdiri tegak.
‘Mungkin si
tambun itu iseng lagi,’
pikirku.
Semenit
kemudian, kudengar suara Hi…..Hu… tepat dari luar jendela. Sekarang aku
yakin ini bukan ulah si tambun. Selain aromanya berbeda, bayangan dari balik
tirai jendela menunjukkan kalau si penyusup berbadan besar. Aku cepat-cepat
menarik selimut Ello.
“Aduh,
Fido! Ada apa sih malam-malam…” kalimat Ello berhenti ketika dia melihat apa
yang tadi kulihat.
“H..h..hantu!”
ia berteriak lalu menutupi wajahnya.
Wah, ini
situasi bahaya! Aku segera berlari dan menerjang jendela, tapi benda itu bergeming.
Aku mencoba mendorongnya sekali lagi dengan kedua kaki depanku, sambil menyalak
keras-keras.
“Tolong!
Tolong!” si penyusup berteriak.
Saat itulah
Ello melompat dari tempat tidur, memegang kalungku erat dan berkata, “Fido,
stop!”
Aku menahan
langkah meski masih menggeram.
Ello
buru-buru membuka jendela kamar. Ketika aku melongok keluar, kulihat dua anak
yang tadi pagi berjalan bersama Ello.
“Ilham?
Ferina? Ngapain kalian disitu?” Ello segera menolong keduanya, lalu mengajak
mereka masuk ke kamar.
“Kami
berniat memberi kejutan ulang tahun untukmu dengan menyamar menjadi hantu,”
Ilham menjelaskan sambil mengelap wajahnya yang belepotan krim kue.
“Mana kami
tahu kalau anjingmu tidur disini. Ketika hendak lari, kami malah terbelit
selimut dan menjatuhkan kue tar untukmu. Rusak deh kejutannya,” rutuk Ferina.
Ello
tertawa terbahak-bahak dan aku makin bingung. Pak Toni belum pernah mengajariku
kasus seperti ini.
“Terimakasih
atas kejutannya, teman-teman. Fido hanya bermaksud melindungiku,kok,” jawab
Ello.
Lalu ia
melakukan sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Ia memelukku!
“Terimakasih,
sobat,” bisiknya.