Inillah cerita Soja, cerita anak yang saya tulis, yang pertama dimuat di media anak. Selamat membaca, teman-teman. Semoga teman-teman suka, ya...
Soja
Bambang
Irwanto
Dimuat di Kumpulan Dongeng 29 tahun 2004 |
Setelah menempuh
perjalanan jauh dari desanya di kaki gunung, akhirnya Soja tiba di kerajaan
Aryapada. Soja berniat ikut tes untuk menjadi prajurit kerajaan. Alun-alun
istana telah dipadati para peserta. Mereka adalah para pemuda yang datang dari
berbagai pelosok negeri.
“Coba lihat pemuda
kurus itu!” tunjuk seorang pemuda pada Soja. Semua temannya ikut menoleh pada
Soja.
“Pasti tenaganya tak
ada,” sambung pemuda yang badannya paling besar. “Bagaimana nanti ia akan
menghadapi musuh?”
Soja tidak mempedulikan
ejekan para pemuda itu. tekadnya sudah bulat untuk menjadi seorang prajurit.
Soja ingin membahagiakan ibunya yang sudah tua. Bapak Soja sudah meninggal
sejak ia masih kecil.
Tes seleksi calon
prajurit kerajaan segera dimulai. Berbagai tes dilalui Soja dengan baik. Soja
dengan cepat mengerjakan puluhan soal, tentang tata cara dan strategi perang.
Dengan liincah, Soca memainkan tombak, juga pedang. Para peserta yang tadinya
menganggap remeh, kini kagum pada pada Soja.
Pada tes terakhir,
calon prajurit diperintahkan untuk menunggangi kuda. Mereka harus melalui rute
yang sudah dittentukan. Siapa yang paling cepat tiba ditujuan, maka dialah yang
diangkat jadi prajurit kerajaan.
Soja mendapat kuda
berwarna cokelat. Dengan mudah, Soja bisa menunggangi kuda itu. beruntung Soja
sudah terbiasa merawat kuda-kuda milik
juragan kaya di desanya.
Garis finish tinggal
beberapa meter lagi. Soja menepuk-nepuk punggung kudanya, agar berlari lebih
cepat lagi. Sudah banyak peserta yang berhasil disusul oleh Soja.
Tiba-tiba saja, Soja
melihat seorang kakek berdiri di tepi jalan. Kakek itu melambai-lambaikan
tangan sambil memegang perutnya yang berdarah. Soja segera menghentikan
kudanya.
“Kenapa perut Kakek
berdarah? tanya Soja sambil turun dari kudanya.
“Digigit anjing liar,
Nak! Tolong antar kakek ke rumah Tabib di tepi hutan sana!” pinta kakek itu dengan
wajah memelas.
Sejenak Soja bimbang.
Bila ia mengantar kakek itu ke rumah Tabib, maka ia akan terlambat sampai di
garis finish.
Beberapa peserta mulai
mendahululi Soja.
“Dasar bodoh!
Tinggalkan saja kakek itu! Bukankah menjadi prajurit jau lebih penting?” ejek
seorang peserta yang melintas di depan Soja.
Soja diam saja, dan
tidak membalas ejekan peserta itu. Ia lalu membantu kakek itu naik ke pelana
kuda. Dengan segera, Soja memaju sepedanya menuju rumah Tabib. Tidak lama,
mereka sudah sampai di tepi hutan. Soja pun membantu kakek itu turun dari kuda.
“Terima kasih, Nak!
Semoga Tuhan membalas budi baikmu,” kata kakek itu sebelum masuk ke rumah
Tabib.
“Sama-sama, Kek! Semoga
kakek segera sembuh. Saya melanjutkan perjalanan dulu, Kek!” kata Soja sambil
naik ke pelana kudanya. Soja pun meneruskan perjalanan. Ia sudah tertinggal
jauh dari peserta lainnya.
Benar saja. Soja
peserta terakhir yang mencapai garis finish. Orang-orang kembali mengejek dan
menertawakan Soja.
Setelah mengembalikan
kuda, Soja bersiap-siap kembali ke desanya. Ia yakin tidak lulus menjadi
prajurit. Tapi Soja tidak kecewa. Tahun depan, ia akan ikut lagi.
Tiba-tiba Panglima Bima
Setyo naik ke atas panggung di tengah lapangan kerajaan. Ia mulai mengumumkan
siapa saja yang akan terpilih menjadi prajurit kerajaan. Soja mulai melangkah
meninggalkan lapangan kerajaan.
“Dan peserta calon
prajurit terbaik adalah... SOJA!” teriak Panglima Bima Setyo.
Soja sangat terkejut,
ketika namanya disebutkan sebagai calon prajurit terbaik. Dengan perasaan bingung,
Soja maju, lalu naik ke atas panggung.
“Maaf, Tuan Panglima!
Mungkin Tuan Panglima salah membacakan nama,” tukas Soja.
Panglima Bima Setya
tersenyum. “Tidak, Anak Muda! Nama kamu Soja, Kan? Bahkan Raja Aryapada sendiri
yang menulis namamu,” Panglima Bima Setya menjelaskan. Tapi Soja tetap saja
bingung. Bukankah ia tadi gagal saat tes menunggang kuda?
Lalu tiba-tiba muncul
kakek yang tadi ditolong Soja. Kakek itu lalu melepas kumis dan janggut
palsunya. Ternyata kakek itu adalah Raja Aryapada yang sedang menyamar. Raja
Aryapada segera menjabat tangan Soja.
“Selamat, Soja! Kamu
diterima menjadi prajurit kerajaan. Seorang prajurit bukan saja mahir bermain
pedang dan tombak, juga bukan saja harus pintar strategi perang, tapi harus
memikili hati yang baik bagi sesama manusia,” kata Raja Aryapada dengan arif.
Soja sangat terharu.
Soja berjanji, tidak akan sombong, walau ia sudah menjadi seorang prajurit
kerajaan.