Dimuat di Majalah Girls |
Ternyata Leana Tidak Begitu
Oleh Diy Ara
“Leana
itu egois! Masa tugas kelompok, soal yang susah-susah aku yang disuruh
ngerjain!” cerita Jiha dengan wajah cemberut kepadaku dan Fanya. Ketika itu
kami sedang makan di kantin sekolah.
“Harusnya
kamu protes dong, Jiha!” seru Fanya.
“Nggak
berani, dia kan anak kepala sekolah SMP ini dan ketua kelas. Emangnya kamu
berani, Nya? Kamu aja kemarin ngeluh, saat K3 disuruh Leana bersihin sarang
laba-laba.” Jiha lalumengigit gorengan.
“Iyalah,
itu melelahkan, aku harus jinjit-jinjit!” Fanya mendengus kesal. Lalu dia
menatapku dengan tatapan menyelidik. “Kok kamu diam doang, Ca? Kamu kan temen
sebangkunya Leana, apa kamu nggak ngerasa kalo Leana itu egois?”
Aku
tersenyum cangung. Rasanya ingin menceritakan perasaanku tentang sikap Leana.
Tetapi, aku mengurungkannya. Karena aku sudah menganganggap Leana teman baikku.
Namun
saat di kelas, bukan hanya Fanya dan Jiha yang mengatakan Leana egois.
Teman-teman juga menceritakan kekesalannya kepada Leana. Teman-teman bilang,
Leana itu mau menang sendiri, dan tidak bertanggung jawab saat peralatan kelas
hilang. Ah, telingaku jadi panas mendengarnya. Aku harus bertindak!
Lalu
pulang sekolah, aku memutuskan, menceritakan semuanya kepada Leana.
“Aku
itu nggak egois, Ca!” seru Leana kesal.
“Aku
cuma ingin nyampein anggapan temen-temen kamu, Le! Biar kamu tahu omongan
mereka di belakangmu.”
“Yang
mana, yang bikin aku dicap egois? Aku nyuruh Jiha ngerjain soal yang susah
karena dia kan memang pinter matematika. Terus aku nyuruh Fanya bersihin sarang
laba-laba karena dia anak yang paling tinggi.” Suara Leana meninggi. Tatapannya
tajam memperlihatkan kemarahannya.
Ucapan
Leana itu malah bikin aku emosi. “Kamu itu harusnya berterima kasih sama aku,
Le. Aku udah beberin semua kesalahanmu, biar kamu sadar. Eh kamu malah
marah-marah!”
“Ya
iyalah aku marah. Orang aku nggak salah!”
“Nggak
salah? Kamu itu emang egois, Le! Kamu pernah minjem buku catatanku, terus nggak
dibawa ke sekolah, jadi aku dimarahin ibu guru. Buku komikku juga belum
dikembaliin sampai sekarang!”
“Kan
aku udah bilang, ambil komiknya di rumahku!”
“Rumahmu
itu jauh, Le. Masa aku harus jalan kaki ke sana? Padahal, kamu pulang-pergi
naik mobil. Itu bukti kamu egois!”
Leana
terdiam sebentar. “Selama ini aku udah menganggap kamu sahabat, Ca. Tetapi kamu
malah nggak ngerti perasaanku.” Dia meraih tasnya dan meninggalkan kelas dengan
langkah dihentakkan.
Malam
harinya, aku sulit tidur. Lalu aku menceritakan masalah ini kepada Fanya lewat
pesan facebook.
Fanya
Cirara: Wah aku bangga sama kamu, Ca. Akhirnya ada anak yang berani ngasih
kritik sama Leana.
Caca
Mentari: Tapi aku ngerasa aku yang salah, Nya. Leana bilang, aku nggak ngerti
perasaannya.
Fanya
Cirara: Dia yang nggak ngerti perasaan kita, temen-temen kelasnya. Kamu bener
kok. Kamu nggak salah, Ca. Yang kamu lakuin bener, jadi nggak usah takut.
Ya,
aku juga ngerasa aku nggak salah. Niatku kan baik.
Esok
harinya, aku tidak duduk di samping Leana. Aku pindah duduk dengan Fanya,
karena Jiha teman sebangkunya tidak masuk. Teman-teman ternyata banyak yang
mendukungku. Sampai-sampai mereka perang dingin dengan Leana. Leana tampaknya
tidak peduli.
Sebenarnya,
aku tidak suka keadaan seperti ini. Hari ini, suasana kelas menjadi tidak
nyaman. Bahkan teman-teman tidak mau piket kebersihan sebagai bentuk protes.
Kelas pun menjadi kotor. Menyebalkannya lagi, ketika pulang sekolah, aku lupa
meninggalkan tempat pensilku di laci. Aku terpaksa kembali lagi ke kelas.
Aku
melihat Leana masih di dalam kelas. Kuamati apa yang dia lakukan lewat jendela.
Dia sedang berjalan jongkok, meneliti bawah meja-meja dan kursi-kursi. Seperti
sedang mencari sesuatu.
“Spindol kelas hilang lagi! Padahal
baru kemarin aku beli dengan uang sakuku. Besok aku harus membelinya lagi.”
katanya dengan wajah murung.
Astaga! Tenyata aku dan teman-teman
kelas salah sangka. Leana sangat bertanggung jawab terhadap keadaan kelas. Aku
sungguh merasa bersalah. Apa lagi melihat Leana menangis sambil menyapu kelas.
Aku bergegas mengambil sapu dan ikut
menyapu kelas. “Maafkan aku, karena aku telah berburuk sangka. Kamu bukan orang
yang egois kok Leana.”
“Caca, tapi teman-teman menganggap
aku egois dan mereka cuekin aku.”
“Aku juga awalnya seperti itu, Le.
Salah sangka sama kamu. Makanya, kamu harus menjelaskanmaksud kamu,kenapa
menyuruh mereka melakukan itu.Dan buktikan pada mereka, kamu bertanggung jawab
dan tidak egois.”
“Terima kasih, Ca. Kamu memang
sahabat baikku.”
Kami berjabatan tangan sambil
tersenyum.
“Oh, iya. Ayo ke rumahku. Sebenernya
aku nggak bermaksud untuk nggak mengembalikan komikmu. Aku hanya ingin kamu
main ke rumahku. Kita bisa baca banyak komik milik kakakku. Kali ini kamu harus
mau naik mobilku.”
Selama ini, Leana memang sering
mengajakku menumpang mobilnya. Tetapi, aku selalu menolak. Aku malu karena di
mobil itu juga ada kepala sekolah.
Esoknya, Leana minta maaf dan
menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi. Dia berjanji akan menjadi ketua kelas
yang lebih baik lagi. Teman-teman juga minta maaf kepada Leana. Kelas pun
menjadi damai kembali. (*)