Dimuat di Majalah Bobo Edisi 41, 14 Januari 2016 |
Ogie
Oleh
Dian Sukma Kuswardhani
Pak Mitmut kesal sekali. Ia harus
memperbaiki tempat tinggalnya yang rusak. Menurut Pak Mitmut, semua itu karena
Ogie gajah yang tidak hati-hati.
Ogie menggoyang-goyangkan
belalainya. Ia sudah minta maaf, tapi Pak Mitmut masih saja cemberut.
“Aku tidak sengaja menginjak
rumahmu, Pak Mitmut. Aku tidak melihatnya,” ucap Ogie menyesal.
“Tadi kan aku sudah berteriak
memperingatkanmu, Ogie. Lihat, sekarang aku kehilangan waktu untuk mencari makanan
bagi anak-anakku,” bentak semut hitam itu.
“Ya, aku mendengarmu. Tapi aku tidak
tahu kau dimana,” kata Ogie membela diri.
“Tentu saja. Telinga lebarmu itu
pasti mendengar suaraku. Sayangnya matamu terlalu kecil untuk menemukanku,”
sindir Pak Mitmut.
Ogie terdiam. Ia merasa serba salah.
Sudah lama hubungan Ogie dan Pak Mitmut kurang harmonis. Setiap kali Ogie lewat
di dekat rumah Pak Mitmut, Pak Mitmut selalu menggerutu. Ia bilang Ogie membuat
rumahnya seperti terkena gempa bumi. Suaranya juga berisik. Pak Mitmut khawatir
kalau-kalau Ogie merusak rumahnya. Dan ternyata itu terjadi hari ini.
“Sudahlah Ogie. Jauh-jauh dari kami,”
usir Pak Mitmut.
Ogie pergi dengan sedih. Rumah Pak
Mitmut berada di bawah pohon manggis dan rambutan. Ogie sangat suka buah-buahan
itu. Makanya Ogie sering ke sana untuk memetik buah. Ia juga senang bermain di
bawah pohonnya yang teduh. Sekarang, ia harus mencari tempat bermain baru.
“Ogie, tangkap ini!” seru Olie sambil
melemparkan sesisir pisang.
Ogie tak siap. Pisang itu mengenai
kepalanya.
“Ups, maaf. Sakit?” tanya Olie. Ogie
hanya menggeleng lesu.
“Hei, aneh sekali kamu hari ini. Ada
apa? Biasanya Ogie selalu ceria?”
“Aku sedang sedih, Olie. Pak Mitmut
marah padaku karena aku merusak rumahnya. Padahal aku tidak sengaja,” keluh
Ogie.
Olie tersenyum. Masalah seperti ini
sudah biasa terjadi. Untuk menghibur Ogie, ia mengajak gajah kecil itu bermain
sembur air di sungai. Itu salah satu permainan favorit mereka.
Ogie pun kembali riang dan melupakan
kesedihannya. Ia menghirup air banyak-banyak dengan belalainya. Lalu ia
semburkan air itu ke udara seperti air mancur. Sementara Olie malah
menyemburkan air ke arah Ogie.
“Ogie! Olie! Semburkan airnya ke sini!”
Ada suara berteriak ke arah mereka. Siapa ya?
“Di bawah sini! Dekat semak-semak!”
Oh, rupanya itu Pak Kako si katak
hijau. Ia sedang menunggui anak-anaknya yang berenang-renang di kubangan air.
“Cuaca panas sekali. Air di kubangan
ini cepat sekali menyusut. Isi pelan-pelan ya,” pinta Pak Kako.
Ogie dan Olie bergantian mengisi
ceruk itu hingga penuh. Anak-anak Pak Kako tampak girang.
“Terimakasih,” ucap Pak Kako.
“Sama-sama, Pak Kako!” jawab Ogie
dan Olie bersamaan.
“Seandainya saja Pak Mitmut juga
menyukai aku seperti Pak Kako, aku pasti akan senang sekali,” pikir Ogie.
***
Suatu hari, Ogie berjalan-jalan di
sekitar pohon manggis dekat rumah Pak Mitmut. Sudah lama ia tidak ke sana. Tapi
pagi itu ia melihat pohon manggis sedang berbuah lebat. Buahnya sudah mulai
besar dan terlihat ranum. Ogie tak tahan untuk tak memetiknya.
Ia berusaha berjalan sepelan dan
sehati-hati mungkin. Sambil memperhatikan permukaan tanah yang hendak ia pijak.
Ogie tidak mau kejadian yang lalu terulang lagi, merobohkan rumah Pak Mitmut.
“Ayo, kita mulai lagi. Satu ... dua
... tigaaaa!” Ogie mendengar suara Pak Mitmut. Ia mencari-cari arah suara itu.
“Mereka sedang apa ya?” pikir Ogie
ketika menemukan Pak Mitmut dan sekawanan semut hitam lainnya. Ogie
memperhatikan mereka.
“Boleh kubantu, Pak Mitmut?” ucap
Ogie pelan. Jangan sampai hembusan nafasnya malah menerbangkan semut-semut
kecil itu.
“Eh ... kau Ogie? Kapan kau datang?
Ya, kami memang butuh bantuan. Kalau kau mau membantu,” ucap Pak Mitmut sedikit
kikuk.
Ogie tersenyum. Dengan mudah ia
memindahkan sebutir buah manggis besar yang jatuh di atas rumah Pak Mitmut.
Buah itu telah merusak rumah Pak Mitmut. Sekawanan semut hitam tampak lega.
Dari tadi mereka mendorong buah manggis itu, tapi tak berhasil menggesernya
sejengkal pun.
“Terimakasih, Ogie,” ucap Pak Mitmut
sedikit malu.
Mungkin ia ingat dulu pernah mengusir
Ogie jauh-jauh. Sekarang Ogie malah menolongnya.
“Sama-sama, Pak. Aku senang bisa
membantu,” balas Ogie.
“Baiklah. Kalau begitu aku pergi dulu,”
lanjut Ogie. Ia urung memetik buah manggis karena merasa sungkan pada Pak
Mitmut.
“Ogie!” panggil Pak Mitmut dengan suara
sekencang mungkin. Ogie menoleh.
“Kau tidak suka manggis-manggisranum
ini? Kenapa tidak kau petik?” tanya Pak Mitmut.
Ogie hampir meloncat kegirangan. Ia
langsung kembali untuk menikmati buah manggis kesukaannya. Ogie juga
mengupaskan beberapa manggis untuk Pak Mitmut dan kawanannya. Mereka menikmati
buah manggis bersama.
Sejak hari itu, hubungan Pak Mitmut dan
Ogie membaik. Ogie selalu berusaha berhati-hati ketika berjalan di sekitar
rumah Pak Mitmut. Pak Mitmut pun tak pernah lagi membentak dan memarahi Ogie
yang melintas di sekitarnya. Mereka hidup dengan rukun.
0 Response to "Ogie"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung ke Rumah Kurcaci Pos. Tidak diperkenankan menggunakan konten di blog ini, tanpa seizin Kurcaci Pos. Terima kasih.