Dimuat di Majalah Bobo - Foto Yulina |
PAK WELING
Oleh: Yulina Trihaningsih
Pak Weling adalah kurcaci tua dengan
kerut-kerut tebal di wajahnya. Jenggot panjang berwarna kelabu tampak menghiasi
dagunya. Sepasang mata hijaunya tampak awas melihat sekelilingnya. Pak Weling
jarang tersenyum, sehingga banyak kurcaci yang enggan menyapanya.
Sebenarnya, Pak Weling tidak jahat.
Ia hanya tidak suka keramaian dan berkumpul bersama kurcaci lain. Ia lebih suka
menghabiskan waktunya di rumah mungil dan kebun apel miliknya, yang terletak di
ujung desa kurcaci.
Pagi ini, Pak Weling sudah berada di
kebun apelnya. Ia berjalan perlahan-lahan di antara pohon-pohon apel yang
rimbun. Buah apelnya jenis istimewa. Berwarna putih keperakan, dan rasanya
manis dan renyah bila digigit.
Dua
hari lagi waktunya panen. Apel-apel itu harus dipetik tepat sebelum salju
pertama turun. Karena, apel-apel itu akan langsung membusuk bila terkena salju.
“Selamat pagi, Pak Weling,” sebuah
sapaan ramah terdengar dari pinggir pagar kebunnya. Pak Weling melihat siapa
yang datang. Oh, ternyata Gus, si kurcaci pos.
“Pagi,” balas Pak Weling singkat.
“Aku membawa surat undangan kerja
bakti besok pagi, Pak,” Gus tersenyum sambil menyerahkan selembar kertas putih.
Pak Weling menerimanya sambil
cemberut. “Terima kasih, Gus. Tapi, akhir-akhir ini aku mudah lelah, dan sakit
kakiku sering kumat.”
“Oh, semoga engkau cepat sembuh, Pak
Weling. Nanti akan aku sampaikan pada Pak Kepala Desa.” Gus berlalu sambil
mendorong gerobaknya yang berisi surat dan paket untuk warga desa kurcaci.
Begitulah selalu sikap Pak Weling
bila diundang.
Minggu
lalu, ia menolak ajakan Bu Tapsi tetangganya untuk menjenguk Nyonya April yang sudah
seminggu sakit. Pak Weling beralasan sibuk membasmi ulat yang terlihat ada di
beberapa pohon apelnya. Bahkan, saat ada undangan perayaan ulang tahun desa
kurcaci di balai desa, Pak Weling pun tak datang.
“Masih banyak hal lain yang bisa
kukerjakan di rumah. Aku bisa menyiangi rumput liar, atau menambal baju
kerjaku,” begitu kata Pak Weling kepada dirinya sendiri. “Aku senang melakukan
semua hal sendirian. Lagipula, aku, kan tidak pernah merepotkan kurcaci lain.”
Hari panen telah tiba. Pak Weling
sudah menyiapkan setumpuk keranjang untuk tempat menyimpan apel-apelnya. Pak
Weling memandang barisan apel yang ranum dan berjuntai rendah di tangkai pohon
dengan puas.
Dengan bantuan tangga, Pak Weling
memutuskan untuk memetik buah apel yang letaknya tinggi terlebih dahulu. Ketika
sudah hampir berada di puncak tangga, Pak Weling terpeleset dan jatuh dari
ketinggian.
Gedebuk! Suara tubuh Pak Weling
ketika beradu dengan tanah yang tertutupi rumput terdengar kencang.
“Wadooow ...” Pak Weling menjerit
kencang. Oh, Pak Weling yang malang! Pasti sakit sekali rasanya. Langkah kaki
berlari terdengar mendekat. Gus terbelalak menatap Pak Weling yang meringis
kesakitan di tanah.
“Ya ampun, Pak Weling, mari aku
bantu,” Gus bergegas memapah Pak Weling. Pak Weling berteriak ketika berusaha
berdiri. Wajahnya memerah, dan matanya berair. Dengan cepat, Gus memapah Pak
Weling menuju gerobaknya. Ia langsung membawa Pak Weling ke rumah Dokter Ryu di
tengah desa.
“Sepertinya, kau harus beristirahat
selama dua hari di sini, Pak Weling,” kata Dokter Ryu tenang sambil membalut
kaki Pak Weling dengan perban.
“Dua hari? Tidak mungkin! Aku harus
memanen kebun apelku!” seru Pak Weling tidak sabar.
“Tapi, kau juga tak bisa memanen
kebun apelmu dengan kaki terkilir seperti ini.”
Pak Weling kecewa sekali. Ia terus memikirkan
kebun apel yang sangat dicintainya.
Dua hari kemudian, dengan naik
gerobak Gus, Pak Weling pulang ke rumah. Wajahnya muram dan hatinya murung.
Sepanjang jalan, desa kurcaci tampak indah berkilauan tertutup lapisan berwarna
putih. Ya, salju pertama telah turun semalam.
Pak
Weling sedih memikirkan apel-apelnya yang tentunya sudah membusuk di pohon. Ia
juga teringat belum memasukkan kayu bakar untuk membuat perapian. Rumahnya
tentulah dingin dan sunyi.
Ketika
sampai, Gus membantu memapah Pak Weling untuk berjalan. Begitu memasuki pintu
rumahnya, Pak Weling terbelalak. Lidah api menari-nari di perapian, mengirimkan
udara hangat ke seluruh ruangan. Di dapur, tampak Nyonya April, ibu Gus,
mondar-mandir sedang memanggang kue. Aroma manis ini... tak salah lagi, ini
pasti tart apel kesukaannya!
“Warga
desa kurcaci membantu memanen kebun apelmu kemarin, Pak Weling,” Gus berkata
bersemangat. “Semua apelmu sudah aman di gudang, sekarang.”
“Oh,
selamat datang Pak Weling,” Nyonya April menyambut ramah. “Aku harap, kau tidak
keberatan aku buatkan tart apel dari beberapa butir apelmu yang terjatuh di
kebun.”
Pak
Weling berterima kasih sambil tersenyum malu. Ternyata, tak selamanya ia mampu
hidup sendiri. Bantuan kurcaci lain sangat berharga pada saat ia sedang sakit.
***
0 Response to "Pak Weling"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung ke Rumah Kurcaci Pos. Tidak diperkenankan menggunakan konten di blog ini, tanpa seizin Kurcaci Pos. Terima kasih.