Dimuat di Majalah Bobo |
Bau Wangi di Rumah Kosong
Krismariana
“Doni, kamu berani kan ke rumah Nenek sendiri?”
tanya Mama kepadaku. Mama mengulurkan rantang kepadaku.
“Sendiri?” tanyaku.
Mama mengangguk. “Papa masih ada rapat di kantor.”
Sebenarnya aku ingin menggeleng. Tapi kalau bukan
aku yang mengantar makan malam Nenek, siapa lagi? Tidak mungkin Mama pergi yang
mengantar. Kalau Mama pergi, Dik Alya yang masih bayi mesti diajak. Repot dan
lama persiapannya. Padahal makan malam untuk nenek harus segera diantar.
Biasanya Papa yang mengantar makan malam Nenek. Uh, kenapa sih Papa rapat
segala?
“Tapi, Ma...” aku berusaha menolak.
Mama memandangku. Aku tahu, kali ini Mama tidak bisa
dibantah. “Ayo, Don... Nenek sudah menunggu. Lagi pula, kalau kamu tidak segera
berangkat, keburu hujan,” ujar Mama. “Nanti pulangnya biar Papa yang
menjemputmu. Tunggu saja di rumah Nenek.”
“Baik, Ma,” jawabku, lalu kuterima rantang berisi
lauk untuk Nenek.
Rumah Nenek tak terlalu jauh dari rumahku. Hanya
tinggal lurus ke barat dari rumahku, lalu belok ke kiri sedikit. Yang membuatku
enggan ke rumah Nenek adalah
aku mesti lewat satu rumah kosong berpagar tinggi dan berhalaman luas. Kalau
lewat sana siang hari, masih lumayan. Tapi kalau hari sudah gelap begini? Hii...
Kata orang-orang rumah itu angker. Perutku melilit.
Dulu Mama pernah bercerita, rumah kosong itu milik
seorang dokter. Dokter itu dulu teman Kakek dan beliau sudah lama meninggal.
Tapi sayangnya dokter itu tak punya anak, jadi tak ada yang mewarisi rumah itu.
Akhirnya rumah itu dibiarkan kosong begitu saja.
Dengan perasaan tak keruan, aku memakai sandal, lalu
keluar halaman. Baru beberapa langkah keluar pagar, aku teringat cerita Randi,
teman sebangkuku. Dia bilang pernah melihat sekelebat orang berbaju putih,
masuk ke tanah kosong itu.
Randi cerita, kalau rumah
itu sudah lama kosong.
Tidak mungkin manusia biasa yang masuk ke situ. Bahkan kabarnya, akhir-akhir
ini sering tercium bau wangi dari rumah itu.
Dalam hati
aku kesal, kenapa di saat aku harus ke rumah Nenek saat hari gelap begini, yang
kuingat malah cerita seram Randi.
Kenapa sih Papa
pulang malam? keluhku. Kalau ke rumah Nenek
bersama Papa, aku tidak takut. Rasanya aneh pergi sendirian ke rumah Nenek saat
petang seperti ini. Ini pengalamanku yang pertama. Kalau sudah malam, biasanya
aku pergi ke rumah Nenek bersama Papa atau Mama.
Dari jauh, kulihat rumah kosong itu tampak muram. Di
kiri kanannya tampak beberapa pohon menjulang. Perutku semakin melilit.
Jalan di depanku kosong. Jalanan redup. Sepertinya
ada satu lampu jalan yang mati.
Sekarang aku berada di ujung timur tembok rumah
kosong itu. Tanganku dingin. Aku betul-betul berharap ada Papa. Aku merasakan
angin bertiup agak kencang. Mungkin sebentar lagi hujan turun. Samar-samar aku
teringat lagi kata-kata Randi: “...akhir-akhir ini sering tercium bau wangi
dari rumah itu.” Benar, mendadak hidungku mencium bau yang wangi. Hiyaaaa...
Aku berusaha berlari. Hosh... hosh! Seandainya aku
tidak membawa rantang, aku bisa berlari lebih kencang lagi.
Untung rumah Nenek tidak terlalu jauh lagi. Di ujung
jalan, aku berbelok ke kiri.
Kulihat pintu rumah Nenek terbuka. Aku langsung
menghambur masuk.
“Nek! Nenek!” seruku dengan napas terengah-engah.
“Eh, Doni,” Nenek menyambutku dan menerima rantang
yang kuulurkan. “Kamu seperti dikejar hantu.”
“Memang iya, Nek.” Napasku masih tersengal. “Hantu
itu baunya wangi sekali!”
Tapi hei, bau wangi yang tercium dari arah rumah
kosong itu sekarang semakin kuat! Aku langsung memeluk Nenek.
“Wangi bagaimana?” tanya Nenek.
“Pokoknya wangi!” aku mengeratkan pelukan.
Pelan-pelan Nenek melepaskan pelukanku, lalu
berjalan ke arah meja tamu. “Baunya seperti ini?” Di telapak tangan Nenek ada
dua kuntum bunga yang belum pernah kulihat. Bentuknya lonjong dengan ujung
lancip. Baunya harum sekali.
“Ini apa, Nek?”
“Ini bunga cempaka. Wangi, ya?” jawab Nenek.
Rasa takutku perlahan-lahan mulai reda. “Kok Nenek
bisa dapat bunga ini?” tanyaku lagi.
“Iya, tadi dibawakan Om Rahmat. Pohon bunga ini
tumbuh di halaman rumah putih yang tadi kamu lewati. Kebetulan sekarang sedang
berbunga.”
“Om Rahmat siapa?” Belum pernah kudengar nama itu.
“Oiya, Nenek lupa belum mengenalkannya padamu. Yuk
ikut Nenek ke ruang makan.”
Aku mengekor Nenek dengan bingung.
“Ini Om Rahmat,” kata Nenek sambil menunjuk lelaki
kurus berbaju putih. “Dia keponakan Dokter Tejo, pemilik rumah putih dekat
ujung jalan situ. Sudah beberapa kali Om Rahmat menengok rumah Dokter Tejo.
Katanya rumah itu akan diperbaiki.”
“Halo, Doni!” Lelaki itu tersenyum lebar.
“Tadi Nenek bercerita tentang kamu kepada Om Rahmat,
Don,” Nenek menjelaskan. “Ayo, beri salam dulu.”
Aku mendekat dan bersalaman dengan Om Rahmat.
Sekarang aku mengerti, kurasa Om Rahmat itu yang
dilihat Randi. Dan bau wangi yang tercium Randi itu pasti bau bunga cempaka.