Dimuat di Majalah Bobo |
RAHASIA
KUKUH
Oleh:
Ruri Ummu Zayyan
Fandi terengah-engah
menyelesaikan putaran terakhir larinya. Sementara Kukuh sudah melampaui jauh di
depannya.
“Kalau begini pasti Kukuh
yang menang,” Fandi sedikit kesal.
Sia-sia rasanya beberapa
hari ini ia memaksa Ayah menemani jogging setiap pagi. Semuanya demi seleksi
lomba lari hari ini. Tetapi tampaknya Kukuh yang akan terpilih mewakili sekolah
mereka.
Benar saja.
“Semuanya, mari kita dukung
Kukuh supaya menang. Bagi yang belum terpilih, jangan kecewa, ya! Masih banyak
ajang lainnya yang bisa kalian ikuti sesuai bakat masing-masing,” kata Pak
Arman.
Fandi membalikkan badan
dengan gontai setelah Pak Arman menutup kegiatan seleksi hari itu.
Saat teman-teman berkerumun
di kantin, Kukuh mendekati Fandi. Mereka sahabat dekat meski selalu bersaing
dalam hal olahraga.
“Kamu mau menonton aku lomba
lari kan, Fan?” tanya Kukuh. Ia tahu Fandi agak kecewa.
“Iya dong, aku pasti nonton.
Nanti aku minta diantar Ayah,” jawab Fandi sambil tersenyum.
“Ssstt.., mau kuberi tahu
sebuah rahasia?” bisik Kukuh.
“Rahasia apa?”
“Sebut saja rahasia suksesku
jadi pelari. Hehehe..,” Kukuh menunjukkan barisan giginya yang putih.
“Hahaha, kamu ada-ada saja.
Aku memang heran sih, dulu kan kalau balapan selalu aku yang menang. Kok
sekarang larimu cepat banget. Tenagamu juga kuat, nggak gampang ngos-ngosan,”
kata Fandi.
Ia mengamati Kukuh dari
ujung kepala sampai ujung kaki. Badan Kukuh terlihat semakin tegap, betisnya
berotot. Ia juga cepat tumbuh tinggi. Meski kulitnya semakin gelap.
“Nanti pulang sekolah main
ke rumahku, ya!” ajak Kukuh.
“Oke!” jawab Fandi mantap.
Begitu bel pulang sekolah
berbunyi, Fandi meminta tolong kepada Bu Ira, wali kelasnya untuk mengabari Ibu
kalau ia langsung main ke rumah Kukuh. Siswa SD Mutiara Hati memang tidak
diperbolehkan membawa ponsel. Kalau ada sesuatu yang harus disampaikan,
biasanya lewat telepon sekolah atau ponsel wali kelas.
“Bagaimana?” Kukuh sudah menunggu
di gerbang sekolah.
“Beres!” Fandi mengacungkan
jempolnya. Mereka berjalan beriringan dengan gembira.
“Lho, kok lewat sini?” Fandi
heran. Terakhir ia main ke rumah Kukuh, arahnya ke barat, bukan ke timur. Waktu
itu naik angkot, bukan berjalan kaki seperti sekarang.
“Aku memang belum cerita
kalau aku sudah pindah. Kira-kira tiga bulan yang lalu,” jawab Kukuh.
“Oh,” ujar Fandi pendek.
Mereka terus berjalan sambil mengobrol ini itu.
“Jauh juga ya? Kenapa nggak
naik angkot saja?” Fandi bertanya lagi.
“Kalau naik angkot nggak ada
jurusan yang langsung ke rumahku, Fan. Harus ganti tiga kali. Dari rumahku naik
mikrobus, turun di pasar. Terus naik angkot B5, turun di Rumah Sakit, terus
baru naik C1 sampai sekolah kita. Jalannya juga memutar. Mending aku jalan
kaki. Bisa ambil jalan memotong lewat gang. Lebih cepat sampai juga,” jelas
Kukuh panjang lebar. Sementara itu Fandi mulai ngos-ngosan.
“Kamu capek?” tanya Kukuh.
“Ya iyalah. Tadi habis
seleksi aku sudah capek. Sekarang tambah jalan kaki segini jauhnya, panas
lagi.” Fandi mengusap peluh di dahinya.
“Kita istirahat dulu di
situ?” Kukuh menunjuk pohon besar yang rindang di tepi jalan.
“Nih, minumku masih ada,”
Kukuh menyodorkan botol minuman kepada Fandi setelah mereka duduk di bawah
pohon.
“Ngomong-ngomong, kenapa
rumahmu pindah, Kuh?” Fandi penasaran.
“Oh, itu karena kontrakan
rumahku yang dulu habis. Kata Ibu, kalau mau mengontrak di situ lagi, harganya
terlalu mahal. Ayah kan sudah meninggal. Ibu cuma jualan kue. Jadi kami pindah
ke kontrakan yang lebih kecil dekat pasar kota. Jualan Ibu juga lebih ramai di
sana,” kata Kukuh.
“Oh,” Fandi mengerti.
Sekitar enam bulan yang lalu ayah Kukuh meninggal. Ia ingat suasana sekolah
waktu itu jadi sedih. Kasihan Kukuh.
“Sudah belum? Kita jalan
lagi, yuk!” ajak Kukuh. Fandi masih menikmati semilir angin.
“Tunggu, tunggu! Tadi kamu
bilang mau kasih tahu rahasia suksesmu?” Fandi menahan Kukuh yang akan beranjak
bangun.
“Nanti kamu juga tahu
sendiri,” Kukuh menarik tangan Fandi untuk bangun dari duduknya.
“Jangan khawatir, nanti aku
siapkan kue-kue yang enak buatan ibuku. Minumnya, mau es campur, jus buah juga
ada. Lengkap. Ibuku kan jualan. Buat kamu gratis deh,” janji Kukuh. Fandi
tertawa.
Mereka berjalan lagi.
Akhirnya sampai juga di rumah kontrakan Kukuh. Fandi terduduk di teras.
Napasnya terengah-engah.
“Kita jalan berapa kilometer
tadi? Ada sepuluh ya?” tanya Fandi.
“Hahaha, kamu lebay. Tiga
kilometer saja kok. Tapi coba kamu bayangkan, tiap hari aku berjalan sejauh
itu. Kalau sudah agak terlambat karena membantu Ibu, aku lari. Itu rahasia
kenapa lariku cepat,” kata Kukuh.
“Huh, dasar! Bilang kek dari
tadi, kan kakiku nggak usah pegal-pegal begini,” gerutu Fandi. Tapi, ia jadi
mengerti sekarang.
****