Dimuat di Majalah Bobo |
Si Hitam di Tengah
Malam
Oleh
: Bonita Irfanti
Malam
tiba. Angin dingin berembus. Di dalam sarangnya, Geri si Burung Gereja merapatkan
tubuh kecilnya pada sang ibu. Di sampingnya, ada Gepi, saudaranya yang sudah
tertidur lelap.
“Hoaahem,”
Geri menguap. “Bu, aku tidur dulu, ya?”
“Tidur
yang nyenyak, Nak.” Ibu mengecup kepala Geri. Tak lama, terdengar suara
dengkuran Geri. Ibu Geri juga menyusul tidur setelah membetulkan selimut Geri
dan Gepi.
Kresekk!
Kresekk! Weerrrr!
Geri
terbangun mendengar suara gemerisik daun-daun dan kepakan sayap. Ia melongok
keluar. Gelap. Hanya ada temaram lampu rumah Pak Pendi di kejauhan. Jaraknya
sekitar tiga ratus meter dari rumah kosong tempat sarang Geri berada.
“Bu,
aku mendengar suara kepakan. Suara hewan apa, ya, Bu,” Geri mengguncang tubuh
ibunya pelan. Ia sedikit takut. Namun ibunya bergeming. Sepertinya Ibunya tidur sangat pulas
malam itu.
Krresekk!
Kresssek! Weerrr!
Suara
itu terdengar lagi dan lagi. Sambil menggigil ketakutan, Geri memutuskan untuk
kembali tidur. Tapi suara-suara itu membuatnya terus terjaga. Akhirnya Geri tertidur
saat hari menjelang pagi.
***
“Geri,
bangun, Nak!
Sudah pagi. Saatnya mencari makan.” Ibu membangunkan Geri keesokan paginya.
Sebetulnya Geri ingin membuka
mata. Tapi rasanya berat sekali.
“Ibu
dan Gepi pergi duluan saja. Nanti aku menyusul,” gumam Geri dengan mata
setengah mengantuk.
“Ya
sudah,” kata Ibu.
Geri
baru terbangun ketika matahari mulai tinggi. Sinarnya yang hangat membuat
matanya jadi silau.
“Hari
yang cerah untuk mencari makan.” Geri meregangkan otot-otot sayapnya, lalu bersiap-siap untuk
terbang. Namun tiba-tiba, Geri mendengar suara seseorang dari arah bawah
sarangnya.
Setelah
melompat-lompat menuju tepian atap genteng, Geri melihat Pak Pendi tampak
mengomel di bawah pohon kelengkeng.
“Kelengkeng-kelengkeng
ini harus cepat dipanen. Kalau tidak, aku bisa rugi!” Pak Pendi memungut
beberapa buah kelengkeng yang berserakan
di tanah. “Benar-benar pencuri yang menyebalkan!” sungutnya sembari berjalan
pergi.
Geri
jadi ingat kejadian semalam. Sepertinya suara yang ia dengar adalah suara
pencuri. Namun Geri heran, kenapa si pencuri beraksi saat malam? Saat siang pun,
belum tentu Pak Pendi melihatnya. Rumah Pak Pendi cukup jauh dari pohon
kelengkeng ini.
Krucuk,
krucuk!
“Ya
ampun, aku kan belum makan. Pantas perutku bunyi.” Geri segera terbang mencari
serangga lezat di sawah.
“Kamu
ke mana saja. Kenapa baru terlihat?” Ibu Geri hinggap di pohon kapuk tempat
Geri bertengger kekenyangan.
“Tadi
aku lihat Pak Pendi mengomel, jadi aku penasaran ingin tahu ada apa.”
“Memangnya
ada apa?” Gepi yang baru bergabung ikut penasaran. Dengan singkat, Geri
menceritakan apa yang dilihatnya. Tak
lupa ia menceritakan
kejadian tadi malam.
Mendengar
cerita Geri, Ibu terbahak. “Pak Pendi, Pak Pendi. Kenapa marah-marah? Harusnya
ia berterima kasih.”
Geri
dan Gepi berpandangan bingung. “Kok berterima kasih sama pencuri?” tanya Geri.
Belum
juga Ibu menjawab, terlihat beberapa anak kecil membawa ketapel.
“Sebaiknya
kita pulang sebelum anak-anak itu melihat kita,” ajak Ibu sedikit panik. Geri
dan Gepi menurut. Mereka kembali ke sarang.
***
Kressekk!
Kressek! Weerrr!
Geri
kembali terbangun. Suara-suara itu lagi!
“Bu,
Bu, ada suara-suara itu lagi!” Geri
mengguncang tubuh ibunya agak keras agar terbangun. Tubuh Gepi sampai ikut
terguncang.
Ibu
mengucek matanya. Gepi juga. “Ada
apa?” tanya Ibu agak lesu.
“Ssstt,
dengerin, deh,” kata Geri.
Kressek!
Weerrr! Kressek! Weeerrr!
“Oh,
itu suara-suara codot, si kelelawar buah,” kata Ibu. “Kalian tahu, codot itu
hebat. Penciumannya sangat tajam. Ia bisa tahu, di mana ada buah yang sudah
masak. Makanya tadi siang Ibu bilang, seharusnya Pak Pendi berterima kasih pada codot-codot itu. Secara tidak langsung,
ia memberitahu Pak Pendi kalau buah kelengkengnya sudah ranum.”
Geri dan Gepi mengangguk mengerti.
“Codot
juga membantu penyebaran biji-biji kelengkeng. lho. Soalnya, codot memakan
daging buah-buah itu di tempat lain.” Ibu mengakhiri penjelasan panjangnya.
Geri
menyimak kata-kata Ibu dengan seksama. Ia benar-benar tertarik dengan hewan yang
diceritakan Ibu itu.
Weerrr!
Dug!
“Aduh!”
Terdengar suara mengaduh. Geri dan Gepi segera
melompat keluar sarang. Sesosok makhluk hitam kecil tampak bergerak-gerak di
atas genteng.
“Halo.”
Geri mencoba menyapa. Sosok itu menengok. Geri dan Gepi terkejut bersamaan, saat melihat dua mata
besar yang berkilat. Untung Ibu sudah memberitahunya soal mata itu.
“Halo
juga.” Sosok itu menatap Geri dan Gepi
dengan heran.
“Apa
kamu yang bernama Codot?” tanya Gepi.
“Dan aku Geri.”
“Ya,
namaku Codi Codot. Aku mengganggu tidur
kalian, ya? Maaf, ya. Aku sedang agak pusing, jadi menabrak
genteng, deh.”
“Kenapa
kamu tidak cari makan saat siang?” tanya Geri lagi.
Codi
tertawa. “Kami ini hewan malam. Jadi siang hari kami gunakan untuk tidur.”
“Oh, begitu rupanya. Ibu
pasti lupa memberitahunya soal ini,”
Gepi melirik Geri
Tiba-tiba
Geri menguap. Gepi ikut menguap. Sudah
waktunya mereka tidur.
“Codi,
kami sudah mengantuk. Kami tidur dulu, ya? Selamat
malam dan selamat makan,” kata Geri. Ia lalu mengajak Gepi
kembali ke sarangnya.
“Selamat
tidur, Geri dan Gepi.
Semoga mimpi indah.”
***