Dimuat di majalah Bobo |
RESEP
RAHASIA BU EDWINA
Oleh:
Ruri Ummu Zayyan
Di ujung jalan desa Wolden
terdapat toko roti dan kue milik Bu Flora. Sayangnya,Bu Flora merasa makin hari
tokonya makin sepi saja.
“Cobalah kau pergi ke toko
kue di desa Winsbury. Aku dengar toko itu sangat laris. Toko itu milik
sahabatmu, Edwina kan?” saran Pak Arthur, suami Bu Flora suatu hari.
“Ah, barangkali ada sesuatu
yang bisa aku pelajari di sana. Mungkin Edwina punya resep rahasia. Semoga ia
tidak keberatan membaginya denganku,” pikir Bu Flora. Dengan menumpang kereta
kuda Pak Peter, petani yang akan mengantar wortel ke desa Winsbury, sampailah
Bu Flora di toko Bu Edwina pagi-pagi sekali.
“Flora sahabatku, apa yang
membawamu kemari?” tanya Bu Edwina ramah sambil menghidangkan secangkir cokelat
panas.
“Edwina, aku ingin toko
rotiku ramai seperti tokomu. Mungkin ada resep yang bisa kau bagi denganku?”
tanya Bu Flora sambil tersipu. “Apakah kau punya resep baru?” lanjutnya.
“Wah, sayangnya tidak ada,
Flora. Resepku sama saja dengan roti yang biasa dibuat semua orang,” jawab Bu
Edwina terus terang.
“Mungkin selainya? Kata
orang selaimu sangat enak.”
“Itu kata orang, Flora.
Mungkin karena mereka menyukainya. Tapi resepnya sama saja dengan selai biasa.”
Bu Edwina meyakinkan.
“Benarkah? Ah, kau hanya
merendah, Edwina.”
“Baiklah, aku akan
mencatatkan resepnya untukmu. Kau mau?”
“Tentu saja aku mau!” Bu
Flora bersemangat sekali.
Tak lama kemudian Bu Edwina
sudah selesai menuliskan resep selainya. Bu Flora membacanya dengan teliti.
“Bahan-bahan, stroberi
segar, gula tebu murni,” Bu Flora bergumam sendiri membaca resep Bu Edwina.
“Kau juga boleh melihatku
membuatnya, Flora!” tambah Bu Edwina.
“Benarkah? Terima kasih
Edwina!” Bu Flora berseru kegirangan. Ia masih yakin Bu Edwina memiliki resep selai
rahasia.
Mereka pun pergi ke dapur
untuk membuat selai. Bu Flora menyimak dengan hati-hati. Ia takut ada langkah
yang terlewat.
“Pastikan kualinya bersih.”
“Aduk terus supaya tidak
menggumpal tak rata.”
“Gunakan api kecil.”
Bu Edwina terus memberi
petunjuk. Tetapi semua caranya sama saja dengan yang biasa dilakukan Bu Flora.
Ketika Bu Flora mencicipinya, memang selainya sedikit lebih enak. Mungkin
karena bahan-bahannya yang segar.
“Kau benar-benar tidak
memakai cara khusus ya?”
“Tadi sudah kukatakan. Ah
ya, sekarang saatnya aku membuka toko,” kata Bu Edwina sambil beranjak.
Di luar toko sudah menunggu
dua anak perempuan berbaju compang-camping. Mantel mereka penuh tambalan.
“Mereka Hannah dan Mary.
Yatim piatu yang tinggal di seberang jalan,” bisik Bu Edwina pada Bu Flora.
“Selamat pagi, Nyonya. Kami
ingin membeli pancake,” anak perempuan yang lebih besar menyodorkan beberapa
keping uang logam.
“Simpan saja uangmu, Hannah.
Sekarang duduklah dengan adikmu, nikmati pancake hangat ini!” Bu Edwina
menghidangkan pancake yang terlihat sangat lezat. “Kau ingin selai apa? Aku
membuat selai dari sayuran. Cobalah! Bagus untuk Mary yang susah makan sayur,”
lanjutnya.
Bu Flora memperhatikan semua
yang dilakukan Bu Edwina.
Tak lama kemudian, sebuah
kereta kuda bertirai berhenti di depan toko Bu Edwina. Pasti pemiliknya orang
kaya.
“Selamat pagi, Tuan Richard.
Ingin membeli roti apa hari ini?” sapa Bu Edwina ramah.
“Seperti biasa, Edwina. Pie
apel dengan selai stroberi, kesukaan Claire,” jawab Tuan Richard.
“Ah, sayang sekali, Tuan.
Persediaan apel kami habis. Tak ada pie apel untuk hari ini. Mungkin Claire
akan menyukai kue yang lain?” Bu Edwina menawarkan beberapa jenis kue.
“Oh, sepertinya tidak,”
jawab Tuan Richard. Tiba-tiba ia melihat Hannah dan Mary yang sedang memakan pancake
dengan lahapnya.
“Kelihatannya sangat enak.
Aku ingin membeli kue yang seperti itu untuk Claire,” kata Tuan Richard.
“Baiklah,” Bu Edwina sangat
senang.
“Tambahkan juga roti yang
itu, ini juga, dan yang di sana itu. Lebih banyak pilihan lebih baik bukan? Aku
tidak tahu Claire akan menyukai yang mana,” Tuan Richard menunjuk beberapa kue.
Akhirnya ia keluar toko membawa banyak sekali kue. Bu Flora takjub dibuatnya.
Setelah Tuan Richard pergi,
datanglah sepasang suami istri. Bu Edwina menyapa mereka dengan ramah.
“Selamat pagi Liz dan Henry.
Sepertinya kalian mau pergi ke suatu tempat?”
“Betul, Nyonya. Kami akan
pergi ke kota asal Liz. Kami ingin membeli kue untuk bekal di kereta api,”
jawab Henry.
“Benarkah? Kalau begitu
bawalah beberapa kue untuk oleh-oleh. Tenang saja, ini gratis. Sampaikan
salamku pada keluarga Liz,” Bu Edwina membungkus beberapa kue. Henry dan Liz meninggalkan
toko dengan senang. Sementara Bu Flora kagum pada kemurahan hati Bu Edwina.
Tak lama kemudian, Henry dan
Liz kembali ke toko.
“Nyonya, kami ingin
memberikan oleh-oleh untuk keluarga nenek dan bibi juga. Kali ini jangan
gratis. Kami akan membelinya,” kata Henry.
Bu Flora manggut-manggut.
Akhirnya ia menemukan resep rahasia Bu Edwina, yaitu keramahan dan kemurahan
hati.