Cerita Anak - Cerpen Anak - “Apa? Batal, Ma? Kedua mata Alinka langsung membulat.
Mama mengangguk pelan. “Maaf ya, Sayang! Mama mendadak harus bertugas di Lombok. Liburan kita tunda dulu, ya!" kata Mama sambil memasukan beberapa potong baju lagi ke dalam kopernya yang berwarna merah marun.
Rasanya Alinka ingin menangis sekencang-kencangnya. Namun ia berusaha tahan sekuat tenaga. Bagaimana tidak, liburan ke Legoland Malaysia sudah lama ia rancanakan. Bahkan Alinka sudah sengaja mengosongkan jadwalnya, dan tidak menerima tawaran menyanyi selama seminggu.
"Bukannya masih banyak teman dokter Mama yang lain?"
"Alinka, ini tugas Mama. Jadi Mama harus utamakan. Lagipula, sekarang ini di Lombok lagi membutuhkan banyak tenaga medis,” tukas Mama.
Alinka hanya bisa terdiam. Ia tahu, kalau Mama tidak mau berdebat saat ini. Uuh.. tahu begini, Aku ikut saja Kak Dimas liburan ke Makassar, gerutu Alinka dalam hati.
“Bagaimana kalau kamu ikut saja ke Lombok?” Mama memberikan penawaran pada Alinka.
Kedua mata Alinka kembali membulat. “Wah, masa liburan ke daerah gempa, Ma? Ada-ada saja Mama ini!” protes Alinka.
"Sudah ya, Mama mau keluar sebentar membeli kebutuhan lain yang akan Mama bawa ke Lombok! Kamu pikirkan saja! Kalau mau ikut, Mama pesankan tiketnya.”
"Nggak Ma. Aku di rumah saja," tolak Alinka cepat.
@@@
Alinka menghempaskan tubuhnya ke sofa ruang tamu. Seharian ini, Alinka benar-benar sangat bosan. Setelah Mama pergi, Alinka hanya duduk-duduk di tepi kolam renang di belakang rumah. Setelah itu, Alinka menonton film kartun.
“Duh, bosan dan rumah sepi sekali,” keluh Alinka.
Walau ada Mbok Iyem, tapi Mbal Iyem sedang sibuk di dapur. Papa sedang ada proyek di luar kota. Mas Dimas ke Makassar. Bisa dipastikan rumah akan sepi sekali kalau Mama ke Lombok.
Alinka meraih ponselnya. Sejenak ia menekan angka, lalu menaruh ponsel di telinga kirinya. Terdengar nada sambung. Lalu tidak lama...
“Halo, Kak Dani! Kak... minggu ini ada job tidak?”
Alinka mendengar suara Kak Dani dari seberang sana. “Wah, bukannya kamu sudah izin mau liburan ke Legoland? Makanya job kosong, kan?”
“Iya, Kak!” Alinka lalu menjelaskan semuanya.
“Oh, begitu... Karena kamu off, maka Kak Dani juga mudik.”
“Ya, sudah, Kak! Terima kasih,” ucap Alinka.
Alinka menghembuskan napas kesal.
@@@
Pesawat yang ditumpangi Alinka dan mamanya mendarat di bandara Lombok yang berada di keluahan Tanah Awuk, kecamatan Pujut, kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Waktu penerbangan dari Bandara Soekarno Hartta Jakarta ke bandara Lombok sekitar 1 jam 55 menit.
Akhirnya Alinka memutuskan ikut Mama ke Lombok. Kemarin setelah meneleponMas Dani, manegernya, Alinka langsung menelepon Mama minta dibelikan tiket pesawat.
“Wajahmu masih kusut saja, Linka!” kata Mama sambil mencubit pipi kanan Alinka. “Ayolah... pamerkan senyum manismu!”
Alinka tersenyum masam. Jujur saja, sebenarnya Alinka ikut Mama ke Lombok tidak sepenuh hati. Itu juga karena Alinka akan merasa kesepian dan bosan selama Mama pergi.
“Aku takut tidak betah, Ma!” jawab Alinka sambil memeluk boneka kelincinya.
“Betah, kok! Apalagi kamu sudah membawa Barry,” Mama mengusap kepala boneka kelinci Alinka itu.
“Ya, deh, Ma!”
Begitu keluar dari bandara, Mama segera mengajak Alinka menuju ke lokasi gempa setelah menempuh perjalanan hampir 2 jam, akhirnya mereka sampai di lokasi pengungsian di desa Malaka kecamatan Pamenang Lombok Utara. Seseorang langsung menghampiri Mama dan Alinka.
"Dokter Maharani, syukurlah Anda sudah datang. Kami benar-benar kekurangan tim medis. Bisa minta tolong langsung menangani korban."
“Bisa, Bu dokter Dian!"
"Baik, Bu! Terima kasih,” ucap Bu dokter Dian. “Mari saya antar, Bu dokter Maharani!”
"Nah, Alinka. Mama bertugas dulu, ya! Kamu bisa berjalan-jalan dulu! Kalau ada apa-apa, telepon Mama saja!
“Baik, Ma!” jawab Alinka sambil mengangguk.
Alinka lalu berjalan-jalan di sekitar lokasi. Alinka melihat banyak sekali runtuhan bangunan. Tenda-tenda banyak dipasang. Banyak juga anak-anak bermain di sekitar situ.
Tiba-tiba Alinka melihat seorang anak perempuan duduk di salah satu puing. Ragu-ragu Alinka menghampiri anak itu. Siapa tahu anak itu bisa jadi temanku, harap Alinka dalam hati.
"Halo..." sapa Alinka.
Anak perempuan itu mengangkat wajahnya. Alinka terkejut. Ternyata anak itu menangis. Pipi sebelah kirinya tampak diplester perban.
"Kamu mau apa?" anak perempuan itu menatap tajam ke arah Alinka.
"Aaaa..ku," Alinka gelagapan. “Namaku Alinka. Aku dari Jakarta.
Anak itu bangkit lalu berlari meninggalkan Alinka. Apa salahku, ya? Gumam Alinka sendiri.
@@@
"Namanya Merry. Umurnya 11 tahun. Ibu dan adiknya meninggal karena gempa," cerita Bu Dian saat mereka sarapan bersama. “Memang hanya dia yang kehilangan orang tua. Waktu gempa, Ibu dan adiknya berada dalam warung. Ibu Merry memang berjualan ikan bakar di dekat pantai Pandanan.”
Alinka langsung tersentuh. “Oh, pantas saja Merry sedih sekali.”
Bu dokter Dian mengangguk. “Kami paham kondisi Merry. Apalagi bapaknya pun sudah pergi, hilang di laut saat mencari ikan. Merry terus murung. Makan saja tidak mau. Kami juga khawatir Merry malah sakit.”
“Nah, tugasmu menghibur Merry, Linka!” kata Mama sambil menepuk bahu kanan Alinka.
“Baik, Ma!”
Sehabis sarapan, Alinka lalu mencari Merry. Lagi-lagi Merry sedang duduk di sebuah puing. Tangan kanannya tampak memainkan batu-batu kecil.
Tanpa disuruh, Alinka lalu duduk di sisi kiri Merry. “Pantai Pandanan itu indah ya, Merry! Aku pernah ke sana tahun lalu. Aku main ayunan sambil melihat pantai yang indah.”
Merry tampak terperanjat, lalu menatap tajam ke arah Alinka. Tidak lama kedua mata Alinka basah. Lalu ia terisak. Alinka jadi bingung.
“Kamu membuatku sedih! Aku jadi ingat Ibu dan adikku lagi!” ucap Merry sambil terisak.
Alinka langsung tersadar. Ia menyesal sudah membuat Merry sedih lagi. “Maafkan aku ya, Merry! Aku hanya ingin menghiburmu saja,” ucap Alinka sambil Tangan kanannya meyentuh pundak kiri Merry.
Merry terdiam saja. Tapi Alinka tahu, kalau Merry sangat sedih.
"Merry! Aku punya sesuatu untukmu," Alinka memberikan boneka kelincinya. "Namanya Barry. Ini boneka kesayanganku."
Merry menggeleng. "Aku hanya mau Ibu dan adikku." Teriak Merry sambil berlari pergi meninggalkan Alinka
Alinka menghembuskan napas. "Ah, Merry! Kamu hanya tidak tau saja."
@@@
"Semangat, Alinka!" ucap Mama.
Alinka tersenyum. "Semangat, Ma!"
Alinka lalu berjalan ke tengah. Anak-anak tampak sudah duduk melingkar. Hari ini, Alinka akan bernyanyi menghibur teman-teman.
Alinka segera menyanyikan satu lagu. Setelah itu, Alinka memberi isyarat kepada Mama. Mama datang membawa sebuah kardus besar.
"Siapa yang mau permen dan biskuit?" teriak Alinka.
"Saya...saya...!"
"Aku...aku..!"
Anak-anak pun berebut menjawab. Alinka lalu membagikan bungkusan berisi makanan. Anak-anak sangat antusias.
Alinka bernyanyi lagi. Tidak lupa Alinka mengajak teman-teman ikut bernyanyi. Kemudian Alinka membagikan mainan dan buku.
Saat teman-teman menikmati makanan dan bermain, Alinka melihat ke sekeliling. Ehm, tenyata Merry tidak ada, gumam Alinka dalam hati.
Alinka pun bergegas mencari Merry. Ternyata Merry duduk sendirian di belakang tenda dapur umum. Saat berjalan mendekati, Alinka mendengar isak tangis Merry.
“Merry...!” panggil Alinka.
Merry menoleh ke arah Alinka. Mata dan pipinya basah karena airmata. “Kenapa kamu selalu mengangguku?”
“Merry, aku tidak berniat menganggumu. Aku tahu kamu sangat sedih. Karena aku juga pernah merasakan kehilangan.”
“Kamu kehilangan apa?”
“Aku mau cerita. Aku ini juga yatim piatu.”
Merry terperanjat. “Kamu bohong, kan? Bu dokter Maharani itu kan Mamamu?”
Alinka menggeleng. “Mama Maharani itu adalah Mama angkatku. Aku diadopsi selagi masih bayi.”
Alinka lalu bercerita. Kalau dirinya ditemukan oleh warga kampung di dekat tempat sampah. Warga lalu membawa ke puskesmas. Ternyata waktu itu dokter yang bertugas adalah Mama Maharani. Akhirnya Mama Maharani mengadopsi Alinka.
“Bagaimana kamu tahu, kalau Bu dokter Maharani bukan Mamamu?”
“Waktu itu, aku sempat sakit keras dan butuh donor darah. Lalu aku menemukan surat keterangan orang yang mendonorkan darah padaku. Lalu aku bertanya, kenapa bukan Mama Maharani, atau Papa Aditya saja? Aku kan anak mereka? Atau Mas Dimas saja, kakakku. Akhirnya Mama Maharani menceritakan semuanya.”
Merry tampak mengangguk mengerti. “Ternyata, kamu juga sama sepertiku, ya! Kamu bahkan tidak tahu orang tua kandungmu.”
Alinka mengangguk. “Iya, makanya aku ingin jadi temanmu. Aku ingin kamu kembali bersemangat. Kata Mama dan Papaku, selalu ada harapan. Kamu mau jadi temanku?”
Merry mengangguk. Ada lengkungan senyum di wajahnya. Alinka senang sekali melihatnya.
@@@
“Kalian darimana saja?” Mama langsung menyambut Alinka yang datang bersama Merry.
“Maaf, Ma! Merry tadi mengajakku melihat pantai Pandanan. Tapi kami dari jauh saja kok!” jelas Alinka.
“Baguslah! Dan Merry, semangat, ya! Kamu harus semangat menyambut hari esok yang lebih cerah.”
“Iya, Bu dokter! Kata Alinka tadi, selalu ada harapan!” jawab Merry.
“Nah, keren itu, Merry!” Mama mengacungkan jempol pada Merry. “O, iya, Alinka. Tadi Mas Dani telepon Mama. katanya, kalau kamu mau, liburannya bisa bareng Mas Dani saja. Dia sudah pulang mudik kok.”
“Tidak usah, Ma! Uang liburan mau aku berikan ke teman-teman di sini saja. Nanti ditambah dengan honor nyanyi aku ya, Ma!” pinta Alinka.
“Wow, bagus sekali, Alinka. Mama setuju.”
“Satu lagi boleh nggak, Ma? Alinka mau Merry jadi saudari Alinka!”
“Boleh dong. Apa Merry mau?”
“Mau Bu dokter.”
Alinka langsung memeluk erat Merry. Alinka berharap, Merry akan kembali bersemangat, karena selalu ada harapan.
Bambang Irwanto
Mama mengangguk pelan. “Maaf ya, Sayang! Mama mendadak harus bertugas di Lombok. Liburan kita tunda dulu, ya!" kata Mama sambil memasukan beberapa potong baju lagi ke dalam kopernya yang berwarna merah marun.
Rasanya Alinka ingin menangis sekencang-kencangnya. Namun ia berusaha tahan sekuat tenaga. Bagaimana tidak, liburan ke Legoland Malaysia sudah lama ia rancanakan. Bahkan Alinka sudah sengaja mengosongkan jadwalnya, dan tidak menerima tawaran menyanyi selama seminggu.
"Bukannya masih banyak teman dokter Mama yang lain?"
"Alinka, ini tugas Mama. Jadi Mama harus utamakan. Lagipula, sekarang ini di Lombok lagi membutuhkan banyak tenaga medis,” tukas Mama.
Alinka hanya bisa terdiam. Ia tahu, kalau Mama tidak mau berdebat saat ini. Uuh.. tahu begini, Aku ikut saja Kak Dimas liburan ke Makassar, gerutu Alinka dalam hati.
“Bagaimana kalau kamu ikut saja ke Lombok?” Mama memberikan penawaran pada Alinka.
Kedua mata Alinka kembali membulat. “Wah, masa liburan ke daerah gempa, Ma? Ada-ada saja Mama ini!” protes Alinka.
"Sudah ya, Mama mau keluar sebentar membeli kebutuhan lain yang akan Mama bawa ke Lombok! Kamu pikirkan saja! Kalau mau ikut, Mama pesankan tiketnya.”
"Nggak Ma. Aku di rumah saja," tolak Alinka cepat.
@@@
Alinka menghempaskan tubuhnya ke sofa ruang tamu. Seharian ini, Alinka benar-benar sangat bosan. Setelah Mama pergi, Alinka hanya duduk-duduk di tepi kolam renang di belakang rumah. Setelah itu, Alinka menonton film kartun.
“Duh, bosan dan rumah sepi sekali,” keluh Alinka.
Walau ada Mbok Iyem, tapi Mbal Iyem sedang sibuk di dapur. Papa sedang ada proyek di luar kota. Mas Dimas ke Makassar. Bisa dipastikan rumah akan sepi sekali kalau Mama ke Lombok.
Alinka meraih ponselnya. Sejenak ia menekan angka, lalu menaruh ponsel di telinga kirinya. Terdengar nada sambung. Lalu tidak lama...
“Halo, Kak Dani! Kak... minggu ini ada job tidak?”
Alinka mendengar suara Kak Dani dari seberang sana. “Wah, bukannya kamu sudah izin mau liburan ke Legoland? Makanya job kosong, kan?”
“Iya, Kak!” Alinka lalu menjelaskan semuanya.
“Oh, begitu... Karena kamu off, maka Kak Dani juga mudik.”
“Ya, sudah, Kak! Terima kasih,” ucap Alinka.
Alinka menghembuskan napas kesal.
@@@
Pesawat yang ditumpangi Alinka dan mamanya mendarat di bandara Lombok yang berada di keluahan Tanah Awuk, kecamatan Pujut, kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Waktu penerbangan dari Bandara Soekarno Hartta Jakarta ke bandara Lombok sekitar 1 jam 55 menit.
Akhirnya Alinka memutuskan ikut Mama ke Lombok. Kemarin setelah meneleponMas Dani, manegernya, Alinka langsung menelepon Mama minta dibelikan tiket pesawat.
“Wajahmu masih kusut saja, Linka!” kata Mama sambil mencubit pipi kanan Alinka. “Ayolah... pamerkan senyum manismu!”
Alinka tersenyum masam. Jujur saja, sebenarnya Alinka ikut Mama ke Lombok tidak sepenuh hati. Itu juga karena Alinka akan merasa kesepian dan bosan selama Mama pergi.
“Aku takut tidak betah, Ma!” jawab Alinka sambil memeluk boneka kelincinya.
“Betah, kok! Apalagi kamu sudah membawa Barry,” Mama mengusap kepala boneka kelinci Alinka itu.
“Ya, deh, Ma!”
Begitu keluar dari bandara, Mama segera mengajak Alinka menuju ke lokasi gempa setelah menempuh perjalanan hampir 2 jam, akhirnya mereka sampai di lokasi pengungsian di desa Malaka kecamatan Pamenang Lombok Utara. Seseorang langsung menghampiri Mama dan Alinka.
"Dokter Maharani, syukurlah Anda sudah datang. Kami benar-benar kekurangan tim medis. Bisa minta tolong langsung menangani korban."
“Bisa, Bu dokter Dian!"
"Baik, Bu! Terima kasih,” ucap Bu dokter Dian. “Mari saya antar, Bu dokter Maharani!”
"Nah, Alinka. Mama bertugas dulu, ya! Kamu bisa berjalan-jalan dulu! Kalau ada apa-apa, telepon Mama saja!
“Baik, Ma!” jawab Alinka sambil mengangguk.
Alinka lalu berjalan-jalan di sekitar lokasi. Alinka melihat banyak sekali runtuhan bangunan. Tenda-tenda banyak dipasang. Banyak juga anak-anak bermain di sekitar situ.
Tiba-tiba Alinka melihat seorang anak perempuan duduk di salah satu puing. Ragu-ragu Alinka menghampiri anak itu. Siapa tahu anak itu bisa jadi temanku, harap Alinka dalam hati.
"Halo..." sapa Alinka.
Anak perempuan itu mengangkat wajahnya. Alinka terkejut. Ternyata anak itu menangis. Pipi sebelah kirinya tampak diplester perban.
"Kamu mau apa?" anak perempuan itu menatap tajam ke arah Alinka.
"Aaaa..ku," Alinka gelagapan. “Namaku Alinka. Aku dari Jakarta.
Anak itu bangkit lalu berlari meninggalkan Alinka. Apa salahku, ya? Gumam Alinka sendiri.
@@@
"Namanya Merry. Umurnya 11 tahun. Ibu dan adiknya meninggal karena gempa," cerita Bu Dian saat mereka sarapan bersama. “Memang hanya dia yang kehilangan orang tua. Waktu gempa, Ibu dan adiknya berada dalam warung. Ibu Merry memang berjualan ikan bakar di dekat pantai Pandanan.”
Alinka langsung tersentuh. “Oh, pantas saja Merry sedih sekali.”
Bu dokter Dian mengangguk. “Kami paham kondisi Merry. Apalagi bapaknya pun sudah pergi, hilang di laut saat mencari ikan. Merry terus murung. Makan saja tidak mau. Kami juga khawatir Merry malah sakit.”
“Nah, tugasmu menghibur Merry, Linka!” kata Mama sambil menepuk bahu kanan Alinka.
“Baik, Ma!”
Sehabis sarapan, Alinka lalu mencari Merry. Lagi-lagi Merry sedang duduk di sebuah puing. Tangan kanannya tampak memainkan batu-batu kecil.
Tanpa disuruh, Alinka lalu duduk di sisi kiri Merry. “Pantai Pandanan itu indah ya, Merry! Aku pernah ke sana tahun lalu. Aku main ayunan sambil melihat pantai yang indah.”
Merry tampak terperanjat, lalu menatap tajam ke arah Alinka. Tidak lama kedua mata Alinka basah. Lalu ia terisak. Alinka jadi bingung.
“Kamu membuatku sedih! Aku jadi ingat Ibu dan adikku lagi!” ucap Merry sambil terisak.
Alinka langsung tersadar. Ia menyesal sudah membuat Merry sedih lagi. “Maafkan aku ya, Merry! Aku hanya ingin menghiburmu saja,” ucap Alinka sambil Tangan kanannya meyentuh pundak kiri Merry.
Merry terdiam saja. Tapi Alinka tahu, kalau Merry sangat sedih.
"Merry! Aku punya sesuatu untukmu," Alinka memberikan boneka kelincinya. "Namanya Barry. Ini boneka kesayanganku."
Merry menggeleng. "Aku hanya mau Ibu dan adikku." Teriak Merry sambil berlari pergi meninggalkan Alinka
Alinka menghembuskan napas. "Ah, Merry! Kamu hanya tidak tau saja."
@@@
"Semangat, Alinka!" ucap Mama.
Alinka tersenyum. "Semangat, Ma!"
Alinka lalu berjalan ke tengah. Anak-anak tampak sudah duduk melingkar. Hari ini, Alinka akan bernyanyi menghibur teman-teman.
Alinka segera menyanyikan satu lagu. Setelah itu, Alinka memberi isyarat kepada Mama. Mama datang membawa sebuah kardus besar.
"Siapa yang mau permen dan biskuit?" teriak Alinka.
"Saya...saya...!"
"Aku...aku..!"
Anak-anak pun berebut menjawab. Alinka lalu membagikan bungkusan berisi makanan. Anak-anak sangat antusias.
Alinka bernyanyi lagi. Tidak lupa Alinka mengajak teman-teman ikut bernyanyi. Kemudian Alinka membagikan mainan dan buku.
Saat teman-teman menikmati makanan dan bermain, Alinka melihat ke sekeliling. Ehm, tenyata Merry tidak ada, gumam Alinka dalam hati.
Alinka pun bergegas mencari Merry. Ternyata Merry duduk sendirian di belakang tenda dapur umum. Saat berjalan mendekati, Alinka mendengar isak tangis Merry.
“Merry...!” panggil Alinka.
Merry menoleh ke arah Alinka. Mata dan pipinya basah karena airmata. “Kenapa kamu selalu mengangguku?”
“Merry, aku tidak berniat menganggumu. Aku tahu kamu sangat sedih. Karena aku juga pernah merasakan kehilangan.”
“Kamu kehilangan apa?”
“Aku mau cerita. Aku ini juga yatim piatu.”
Merry terperanjat. “Kamu bohong, kan? Bu dokter Maharani itu kan Mamamu?”
Alinka menggeleng. “Mama Maharani itu adalah Mama angkatku. Aku diadopsi selagi masih bayi.”
Alinka lalu bercerita. Kalau dirinya ditemukan oleh warga kampung di dekat tempat sampah. Warga lalu membawa ke puskesmas. Ternyata waktu itu dokter yang bertugas adalah Mama Maharani. Akhirnya Mama Maharani mengadopsi Alinka.
“Bagaimana kamu tahu, kalau Bu dokter Maharani bukan Mamamu?”
“Waktu itu, aku sempat sakit keras dan butuh donor darah. Lalu aku menemukan surat keterangan orang yang mendonorkan darah padaku. Lalu aku bertanya, kenapa bukan Mama Maharani, atau Papa Aditya saja? Aku kan anak mereka? Atau Mas Dimas saja, kakakku. Akhirnya Mama Maharani menceritakan semuanya.”
Merry tampak mengangguk mengerti. “Ternyata, kamu juga sama sepertiku, ya! Kamu bahkan tidak tahu orang tua kandungmu.”
Alinka mengangguk. “Iya, makanya aku ingin jadi temanmu. Aku ingin kamu kembali bersemangat. Kata Mama dan Papaku, selalu ada harapan. Kamu mau jadi temanku?”
Merry mengangguk. Ada lengkungan senyum di wajahnya. Alinka senang sekali melihatnya.
@@@
“Kalian darimana saja?” Mama langsung menyambut Alinka yang datang bersama Merry.
“Maaf, Ma! Merry tadi mengajakku melihat pantai Pandanan. Tapi kami dari jauh saja kok!” jelas Alinka.
“Baguslah! Dan Merry, semangat, ya! Kamu harus semangat menyambut hari esok yang lebih cerah.”
“Iya, Bu dokter! Kata Alinka tadi, selalu ada harapan!” jawab Merry.
“Nah, keren itu, Merry!” Mama mengacungkan jempol pada Merry. “O, iya, Alinka. Tadi Mas Dani telepon Mama. katanya, kalau kamu mau, liburannya bisa bareng Mas Dani saja. Dia sudah pulang mudik kok.”
“Tidak usah, Ma! Uang liburan mau aku berikan ke teman-teman di sini saja. Nanti ditambah dengan honor nyanyi aku ya, Ma!” pinta Alinka.
“Wow, bagus sekali, Alinka. Mama setuju.”
“Satu lagi boleh nggak, Ma? Alinka mau Merry jadi saudari Alinka!”
“Boleh dong. Apa Merry mau?”
“Mau Bu dokter.”
Alinka langsung memeluk erat Merry. Alinka berharap, Merry akan kembali bersemangat, karena selalu ada harapan.
Bambang Irwanto