Bedah Naskah Cerita Anak - Kutukan Pangeran Dirandra - Salam, Sahabat Kurcaci Pos.
Jumpa lagi nih, di rubrik 'Bedah Naskah Cerita Anak'. Di Tahun 2019, ini tayangan pertama, lho hehehe.
Kali ini Kurcaci Pos membedah naskah cerita Kak Retno Rahayu yang bercerita tentang Pangeran Dirandra yang selalu mengumpat. Lalu tiba-tiba ada tompel di pipinya.
Nah, bagaimana hasil bedah naskahnya? Yuk, disimak. O, iya. Kalau SaKurPos ingin mempelajari naskah-naskah lainnya yang Kurcaci Pos bedah, bisa mampir ke sini saja, ya! Klik saja.
Salam semangat menulis...
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Naskah Asli
Kutukan Pangeran Dirandra
Oleh : Retno Rahayu
Siang itu matahari bersinar terik. Pangeran Dirandra menyeka peluh di dahinya. Matanya membidik sasaran panah dengan seksama. Kraak...
Terdengar suara ranting terinjak. Rusa yang dibidik Pangeran Dirandra terkejut dan berlari.
“Aaahh....sial.” Pangeran Dirandra berteriak kesal.
“Dasar kamu Pengawal, gara-gara kamu rusa itu kabur. Aku sudah lapar tahu .”
“Mohon maaf, Pangeran. Hamba tidak sengaja. Untuk sementara kita makan buah-buahan ini saja dulu.” Jawab pengawal.
“Buah lagi-buah lagi. Aku bosan!”
Pangeran Dirandra tampak kesal. Tetapi tidak ada pilihan lain. Dia sudah sangat lapar.
“Apakah pertapaan Ki Sakti masih jauh?” tanya pangeran kepada pengawalnya.
“Tidak Pangeran. Kalau kita lanjutkan perjalanan sekarang, saat matahari terbenam nanti kita sudah sampai.” Jawab pengawal.
“Kalau begitu ayo kita berangkat sekarang.”
Pangeran Dirandra berhenti makan, lalu bangkit sambil memeriksa surat yang harus ia sampaikan kepada Ki Sakti.
Ya, Pangeran Dirandra sedang mendapat tugas dari raja untuk mengantar surat kepada sahabat raja, Ki Sakti.
Belum jauh berjalan, tiba-tia seekor kadal melintas di depan pangeran. “Kadal buntung.” Pangeran mengumpat, ia sangat terkejut.
“Pangeran, kita sekarang berada di hutan terlarang. Sebaiknya Pangeran jangan mengumpat.” Bisik pengawal hati-hati.
“Memangnya kenapa?”
“Hutan terlarang terkenal angker. Kita tidak boleh bertindak sembarangan apalagi berkata kasar. Bisa celaka!”
“Ah, sudah jangan menakuti aku. Aku tidak percaya.”
Pangeran dan pengawal pun melanjutkan perjalanan.
Tibalah mereka di sebuah tebing yang licin dan curam. Mereka harus berjalan hati-hati. Kalau tidak, bisa terpeleset dan jatuh ke jurang. Tidak sengaja pangeran menginjak lumut yang tertutup dedaunan. Pangeran tergelincir. Untung saja pengawal dengan sigap menangkap tangan pangeran.
“Dasar lumut sialan.”
Pangeran mengumpat lagi.
“Pangeran....” ucapan Pengawal terhenti. Matanya membulat melihat wajah pangeran.
“Ada apa?” tanya pangeran heran.
“Ehm...tidak. Sebelum melanjutkan perjalanan, maukah Pangeran berjanji tidak akan mengumpat lagi?” bisik pengawal ketakutan.
“Iya! Aku tidak akan mengumpat lagi. Kalau tidak lupa.” Jawab pangeran dengan ketus. Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan.
Saat matahari terbenam, Pangeran Dirandra dan pengawal sampai di pertapaan Ki Sakti. Tidak berapa lama, Ki Sakti datang menemui mereka.
“Salam hormat, Ki. Saya Pangeran Dirandra dan ini pengawal saya. Kami kemari diutus oleh raja untuk menyampaikan surat ini.” Pangeran Dirandra memperkenalkan diri sambil menyerahkan surat yang ia bawa.
Ki Sakti mengangguk lalu membaca surat dari raja. Setelah selesai membaca, Ki Sakti mengamati Pangeran Dirandra.
“Anak muda, jangan berbohong kepadaku. Kamu bukan Pangeran Dirandra.” Ucap Ki Sakti tajam.
Pangeran Dirandra terkejut.
“Apa maksud Ki Sakti? Saya tidak berbohong. Saya Pangeran Dirandra.”
Ki Sakti mengamati Pangeran Dirandra kembali.
“Tidak! Kamu bukan Pangeran Dirandra.”
“Bagaimana bisa Ki Sakti bilang begitu?” Pangeran Dirandra merasa marah.
“Saya pernah bertemu Pangeran Dirandra waktu dia masih kecil. Pangeran Dirandra tidak memiliki tompel di pipinya.”
“Saya benar-benar Pangeran Dirandra. Dan saya memang tidak pernah punya tompel. Ki Sakti jangan mengada-ada!”
Ki Sakti mengulurkan sebuah cermin kepada Pangeran Dirandra.
“Lihat bayanganmu di cermin!”
Betapa terkejutnya Pangeran Dirandra. Ada tompel besar memenuhi pipi sebelah kanannya.
“Bagaimana bisa aku punya tompel sebesar ini?” ujar Pangeran Dirandra panik.
Pangeran Dirandra menggosok tompel di pipinya kuat-kuat. Berharap tompel itu mengelupas. Tapi tompel itu tetap melekat di pipi pangeran.
“Pengawal, lakukan sesuatu!” seru pangeran putus asa.
“Ampun Pangeran. Hamba juga tidak tahu.” Jawab pengawal.
“Memangnya apa yang terjadi?” Ki Sakti mendekati pengawal yang ketakutan.
“Tadi sewaktu melewati hutan terlarang, Pangeran berkali-kali mengumpat. Sewaktu melewati tebing, Pangeran tergelincir lalu mengumpat lagi. Tahu-tahu tompel itu ada di pipi Pangeran.” Jawab pengawal.
“Mengapa Pangeran Dirandra mengumpat?” tanya Ki Sakti.
“Pangeran memang terbiasa mengumpat. Raja juga tidak tahu bagaimana cara menghentikan kebiasaan buruk Pangeran Dirandra.” Jawab pengawal pelan supaya tidak didengar Pangeran Dirandra.
Ki Sakti mengangguk. Dia mendekati Pangeran yang masih menggosok-gosok tompel dipipi nya.
“Pangeran, sepertinya Pangeran terkena kutukan hutan terlarang.”
“Saya tahu. Lalu bagaimana caranya menghilangkan tompel sialan ini Ki?”
Ki Sakti menggeleng. Pangeran masih saja mengumpat.
“Saya tidak tahu Pangeran. Saya harus bertapa dahulu untuk mendapatkan jawabannya.”
“Berapa lama?” Tanya Pangeran.
“Saya tidak tahu. Pangeran harap bersabar. Sambil mengunggu Pangeran bisa tinggal disini. Murid saya bisa mengajari Pangeran banyak hal.”
“Tinggal disini? Tidak! Aku tidak mau.”
“Jadi Pangeran akan kembali ke kerajaan dengan keadaan seperti ini?”
Pangeran Dirandra berpikir sejenak. Ki Sakti benar. Dia tidak bisa pulang jika tompel itu belum hilang.
“Baiklah. Aku akan tinggal disini.”
Ki Sakti tersenyum mendengar jawaban Pangeran Dirandra. Ki Sakti memerintahkan muridnya untuk mengantar Pangeran Dirandra ke kamar tamu.
Sementara itu, Ki Sakti menulis surat balasan untuk raja.
Yang terhormat baginda raja,
Semua berjalan sesuai rencana. Pangeran Dirandra akan tinggal disini untuk beberapa waktu.
Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk mendidik Pangeran Dirandra.
Semoga kebiasaan buruk pangeran segera berubah.
Hormat saya
Ki Sakti
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Naskah Setelah Dibedah
Kutukan Pangeran Dirandra
Oleh : Retno Rahayu
Siang itu matahari bersinar terik. Pangeran Dirandra menyeka peluh di dahinya. Matanya membidik sasaran panah dengan seksama. Kraak...
Terdengar suara ranting terinjak. (Bagus juga kalau ditambah : Tiba-tiba terdengar...). Rusa yang dibidik Pangeran Dirandraterkejut dan berlari. (Pakai kata : Lalu. Kalau dan itu dua pekerjaan yang dilakukan secara bersamaan. Misalnya : Bernyanyi dan menari. >>> terkejut, lalu berlari.
“Aaahh....sial.” Pangeran Dirandra berteriak kesal.
“Dasar kamu Pengawal, gara-gara kamu rusa itu kabur. Aku sudah lapar tahu.” (Ini bisa digabung dalam satu paragraf, karena masih satu ucapan tokoh.)
“Mohon maaf,Pangeran. (Beri penegasan dengan tanda seru : Pangeran!). Hamba tidak sengaja. Untuk sementara kita makan buah-buahan ini saja dulu.” Jawab pengawal.
“Buah lagi-buah lagi. Aku bosan!”
Pangeran Dirandra tampak kesal. Tetapi tidak ada pilihan lain. Dia sudah sangat lapar.
“Apakah pertapaan Ki Sakti masih jauh?” tanya pangeran kepada pengawalnya.
“Tidak Pangeran. Kalau kita lanjutkan perjalanan sekarang, saat matahari terbenam nanti kita sudahsampai.” Jawab pengawal. (Bisa pakai koma saja : sampai," jawab pengawal.)
“Kalau begitu ayo kita berangkat sekarang.” (Perhatikan editannya dengan tanda baca yang pas : "Kalau begitu, ayo, kita berangkat sekarang!")
Pangeran Dirandra berhenti makan, lalu bangkit sambil memeriksa surat yang harus ia sampaikan kepada Ki Sakti.
Ya, Pangeran Dirandra sedang mendapat tugas dari raja untuk mengantar surat kepada sahabat raja, Ki Sakti. (ini bisa digabung dengan paragraf di atas.)
Belum jauh berjalan, tiba-tia seekor kadal melintas di depan pangeran. “Kadal buntung.” Pangeran mengumpat,ia (Perhatikan kata dia yang distabilo hijau, Kak! Jadi penggunaan kata pengganti harus konsisten. Kalau sejak awal pakai dia, terus pakai dia. Kalau sejak awal pakai ia, terus pakai ia. jangan gunakan ia dan dia.) sangat terkejut.
“Pangeran, kita sekarang berada di hutan terlarang. Sebaiknya Pangeran jangan mengumpat.” Bisik pengawal hati-hati.
“Memangnya kenapa?”
“Hutan terlarang terkenal angker. Kita tidak boleh bertindak sembarangan apalagi berkata kasar. Bisa celaka!”
“Ah, sudah jangan menakuti aku. Aku tidak percaya.”
Pangeran (konsistenkan saja penulisannya : Pangeran Dirandra) dan pengawal pun melanjutkan perjalanan.
Tibalah mereka di sebuah tebing yang licin dan curam. Mereka harus berjalan hati-hati. Kalau tidak, bisa terpeleset dan jatuh ke jurang. Tidak sengajapangeran (seragamkan saja, Kak : Pangeran Dirandra) menginjak lumut yang tertutup dedaunan. Pangeran tergelincir. Untung saja pengawal dengan sigap menangkap tangan pangeran.
“Dasar lumut sialan.”
Pangeran mengumpat lagi.
“Pangeran....” ucapan Pengawal terhenti. Matanya membulat melihat wajah pangeran.
“Ada apa?” tanya pangeran heran.
“Ehm...tidak. Sebelum melanjutkan perjalanan, maukah Pangeran berjanji tidak akan mengumpat lagi?” bisik pengawal ketakutan.
“Iya! Aku tidak akan mengumpat lagi. Kalau tidak lupa.” Jawab pangeran dengan ketus. Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan.
Saat matahari terbenam, Pangeran Dirandra dan pengawal sampai di pertapaan Ki Sakti. Tidak berapa lama, Ki Sakti datang menemui mereka.
“Salam hormat, Ki. Saya Pangeran Dirandra dan ini pengawal saya. Kami kemari diutus oleh raja untuk menyampaikan surat ini.” Pangeran Dirandra memperkenalkan diri sambil menyerahkan surat yang ia bawa.
Ki Sakti mengangguk lalu membaca surat dari raja. Setelah selesai membaca, Ki Sakti mengamati Pangeran Dirandra.
“Anak muda, jangan berbohong kepadaku. Kamu bukan PangeranDirandra.” Ucap (Dirandra," ucap) Ki Sakti tajam.
Pangeran Dirandra terkejut.
“Apa maksud Ki Sakti? Saya tidak berbohong. Saya Pangeran Dirandra.” (Ini bisa digabung dalam satu paragraf).
Ki Sakti mengamati Pangeran Dirandra kembali.
“Tidak! Kamu bukan Pangeran Dirandra.”
“Bagaimana bisa Ki Sakti bilang begitu?” Pangeran Dirandra merasa marah.
“Saya pernah bertemu Pangeran Dirandra waktu dia masih kecil. Pangeran Dirandra tidak memiliki tompel di pipinya.”
“Saya benar-benar Pangeran Dirandra. Dan saya memang tidak pernah punya tompel. Ki Sakti jangan mengada-ada!”
Ki Sakti mengulurkan sebuah cermin kepada Pangeran Dirandra.
“Lihat bayanganmu di cermin!”
Betapa terkejutnya Pangeran Dirandra. Ada tompel besar memenuhi pipi sebelah kanannya.
“Bagaimana bisa aku punya tompel sebesar ini?” ujar Pangeran Dirandra panik.
Pangeran Dirandra menggosok tompel di pipinya kuat-kuat. Berharap tompel itu mengelupas. Tapi tompel itu tetap melekat di pipi pangeran.
“Pengawal, lakukan sesuatu!” seru pangeran putus asa.
“Ampun Pangeran. Hamba juga tidak tahu.” Jawab pengawal.
“Memangnya apa yang terjadi?” Ki Sakti mendekati pengawal yang ketakutan.
“Tadi sewaktu melewati hutan terlarang, Pangeran berkali-kali mengumpat. Sewaktu melewati tebing, Pangeran tergelincir lalu mengumpat lagi. Tahu-tahu tompel itu ada di pipi Pangeran.” Jawab pengawal.
“Mengapa Pangeran Dirandra mengumpat?” tanya Ki Sakti.
“Pangeran memang terbiasa mengumpat. Raja juga tidak tahu bagaimana cara menghentikan kebiasaan buruk PangeranDirandra.” Jawab (Dirandra," jawab) pengawal pelan supaya tidak didengar Pangeran Dirandra. (Ini tidak apa-apa didengar Pangeran Dirandra, karena dia tokoh utamanya. jadi kamera cerita memang dari Pangeran Dirandra).
Ki Sakti mengangguk. Dia mendekati Pangeran yang masih menggosok-gosok tompeldipipi nya. (di pipinya)
“Pangeran, sepertinya Pangeran terkena kutukan hutan terlarang.”
“Saya tahu. Lalu bagaimana caranya menghilangkan tompel sialanini Ki?” (ini, Ki?")
Ki Sakti menggeleng. Pangeran masih saja mengumpat.
“Saya tidak tahu Pangeran. Saya harus bertapa dahulu untuk mendapatkan jawabannya.”
“Berapa lama?” Tanya Pangeran.
“Saya tidak tahu. Pangeran harap bersabar. Sambil mengunggu Pangeran bisa tinggaldisini (Dipisah : di sini). Murid saya bisa mengajari Pangeran banyak hal.”
“Tinggaldisini? Tidak! Aku tidak mau.”
“Jadi Pangeran akan kembali ke kerajaan dengan keadaan seperti ini?”
Pangeran Dirandra berpikir sejenak. Ki Sakti benar. Dia tidak bisa pulang jika tompel itu belum hilang.
“Baiklah. Aku akan tinggaldisini.”
Ki Sakti tersenyum mendengar jawaban Pangeran Dirandra. Ki Sakti memerintahkan muridnya untuk mengantar Pangeran Dirandra ke kamar tamu. Sementara itu, Ki Sakti menulis surat balasan untuk raja.
Yang terhormat baginda raja,
Semua berjalan sesuai rencana. Pangeran Dirandra akan tinggaldisini untuk beberapa waktu.
Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk mendidik Pangeran Dirandra.
Semoga kebiasaan buruk pangeran segeraberubah. (tidak pas dipakai kata berubah atau dirubah >>> semoga bisa diubah, kebiasaaan buruk Pangeran Dirandra itu.)
Hormat saya
Ki Sakti
(Menurut Kurcaci Pos, penulisan ini surat ini tidak pas, kak Retno. Selain karena kamera ceritanya lepas dari Pangeran Dirandra. Lalu endingnya juga mengantung. Tidak ada penyelesaian).
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Catatan Kurcaci Pos :
Salam, Kak Retno.
Ini idenya bagus, Mbak. Dari cerita ini bisa disampaikan pesan moral, agar anak-anak jangan mengumpat. Dan ini penerapannya bagus, karena diterapkan pada dongeng yang tokoh dewasa. Kalau diterapkan pada cerpen memang riskan, Kak. karena dalam cerita nanti tokoh anak-anaknya memang diceritakan mengumpat.
Hanya sayangnya, alur ceritanya terlalu diulur, Mbak Retno, sedangkan alur penyelesaian konfliknya tidak ada, akhirnya endingnya menggantung. Pembaca anak tidak jelas bagaimana dengan Pangeran Dirandra? Apakah dia bisa mengubah kebiasaan mengumpatnya itu? Lalu dengan cara apa? Pembaca anak itu perlu diberikan solusi yang jelas.
Jadi sebaiknya, begitu masuk opening, langsung konflik, Kak Retno. Tidak perlu terlalu panjang menjelaskan sebab akibatnya. Misalnya Pangeran Dirandra suka sekali mengumpat. Suatu hari dia berburu di hutan yang kebetulan hutan terlarang. Saat gagal membidik rusa, Pangeran Diranndra mengumpat. Tiba-tiba ada tompel besar di pipinya.
Pangeran Dirandra bingung. Dia tidak mungin kembali ke istana dengan tompel besar di wajahnya. Anehnya, semakin Pangeran mengumpat, tompel itu semakin besar. Nah, saat sedang bingung, dia ketemu Ki Sakti. Ki Sakti sanggup menolongnya asalkan ada syaratnya.
Nah, mainkan syarat itu dengan alur berliku. Misalnya Pangeran Dirandra tidak boleh mengumpat dan berusaha berkata baik. Awalnya susah, sampai akhirnya pangeran bisa. Jadi ada solusi konfliknya. Pembaca anak-anak jelas, oh... harus dibiasakan tidak mengumpat, karena tidak baik. harus dibiasakan berkata baik.
Koreksi lainnya adalah masih banyak penempatan tanda baca kurang tepat ya, Kak Retno. Jadi bisa dipelajari lagi. Termasuk penggunaan "DI" yang tidak selamanya harus disambung.
Demikian catatan dari Kurcaci Pos, Kak Retno. Terus semangat menulis.
Kurcaci Pos
Jumpa lagi nih, di rubrik 'Bedah Naskah Cerita Anak'. Di Tahun 2019, ini tayangan pertama, lho hehehe.
Ilustrasi Kang Maman Mantox (Dari kaver buku Seri pangeran Bambang Irwanto - Bentang Belia) |
Kali ini Kurcaci Pos membedah naskah cerita Kak Retno Rahayu yang bercerita tentang Pangeran Dirandra yang selalu mengumpat. Lalu tiba-tiba ada tompel di pipinya.
Nah, bagaimana hasil bedah naskahnya? Yuk, disimak. O, iya. Kalau SaKurPos ingin mempelajari naskah-naskah lainnya yang Kurcaci Pos bedah, bisa mampir ke sini saja, ya! Klik saja.
Salam semangat menulis...
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Naskah Asli
Kutukan Pangeran Dirandra
Oleh : Retno Rahayu
Siang itu matahari bersinar terik. Pangeran Dirandra menyeka peluh di dahinya. Matanya membidik sasaran panah dengan seksama. Kraak...
Terdengar suara ranting terinjak. Rusa yang dibidik Pangeran Dirandra terkejut dan berlari.
“Aaahh....sial.” Pangeran Dirandra berteriak kesal.
“Dasar kamu Pengawal, gara-gara kamu rusa itu kabur. Aku sudah lapar tahu .”
“Mohon maaf, Pangeran. Hamba tidak sengaja. Untuk sementara kita makan buah-buahan ini saja dulu.” Jawab pengawal.
“Buah lagi-buah lagi. Aku bosan!”
Pangeran Dirandra tampak kesal. Tetapi tidak ada pilihan lain. Dia sudah sangat lapar.
“Apakah pertapaan Ki Sakti masih jauh?” tanya pangeran kepada pengawalnya.
“Tidak Pangeran. Kalau kita lanjutkan perjalanan sekarang, saat matahari terbenam nanti kita sudah sampai.” Jawab pengawal.
“Kalau begitu ayo kita berangkat sekarang.”
Pangeran Dirandra berhenti makan, lalu bangkit sambil memeriksa surat yang harus ia sampaikan kepada Ki Sakti.
Ya, Pangeran Dirandra sedang mendapat tugas dari raja untuk mengantar surat kepada sahabat raja, Ki Sakti.
Belum jauh berjalan, tiba-tia seekor kadal melintas di depan pangeran. “Kadal buntung.” Pangeran mengumpat, ia sangat terkejut.
“Pangeran, kita sekarang berada di hutan terlarang. Sebaiknya Pangeran jangan mengumpat.” Bisik pengawal hati-hati.
“Memangnya kenapa?”
“Hutan terlarang terkenal angker. Kita tidak boleh bertindak sembarangan apalagi berkata kasar. Bisa celaka!”
“Ah, sudah jangan menakuti aku. Aku tidak percaya.”
Pangeran dan pengawal pun melanjutkan perjalanan.
Tibalah mereka di sebuah tebing yang licin dan curam. Mereka harus berjalan hati-hati. Kalau tidak, bisa terpeleset dan jatuh ke jurang. Tidak sengaja pangeran menginjak lumut yang tertutup dedaunan. Pangeran tergelincir. Untung saja pengawal dengan sigap menangkap tangan pangeran.
“Dasar lumut sialan.”
Pangeran mengumpat lagi.
“Pangeran....” ucapan Pengawal terhenti. Matanya membulat melihat wajah pangeran.
“Ada apa?” tanya pangeran heran.
“Ehm...tidak. Sebelum melanjutkan perjalanan, maukah Pangeran berjanji tidak akan mengumpat lagi?” bisik pengawal ketakutan.
“Iya! Aku tidak akan mengumpat lagi. Kalau tidak lupa.” Jawab pangeran dengan ketus. Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan.
Saat matahari terbenam, Pangeran Dirandra dan pengawal sampai di pertapaan Ki Sakti. Tidak berapa lama, Ki Sakti datang menemui mereka.
“Salam hormat, Ki. Saya Pangeran Dirandra dan ini pengawal saya. Kami kemari diutus oleh raja untuk menyampaikan surat ini.” Pangeran Dirandra memperkenalkan diri sambil menyerahkan surat yang ia bawa.
Ki Sakti mengangguk lalu membaca surat dari raja. Setelah selesai membaca, Ki Sakti mengamati Pangeran Dirandra.
“Anak muda, jangan berbohong kepadaku. Kamu bukan Pangeran Dirandra.” Ucap Ki Sakti tajam.
Pangeran Dirandra terkejut.
“Apa maksud Ki Sakti? Saya tidak berbohong. Saya Pangeran Dirandra.”
Ki Sakti mengamati Pangeran Dirandra kembali.
“Tidak! Kamu bukan Pangeran Dirandra.”
“Bagaimana bisa Ki Sakti bilang begitu?” Pangeran Dirandra merasa marah.
“Saya pernah bertemu Pangeran Dirandra waktu dia masih kecil. Pangeran Dirandra tidak memiliki tompel di pipinya.”
“Saya benar-benar Pangeran Dirandra. Dan saya memang tidak pernah punya tompel. Ki Sakti jangan mengada-ada!”
Ki Sakti mengulurkan sebuah cermin kepada Pangeran Dirandra.
“Lihat bayanganmu di cermin!”
Betapa terkejutnya Pangeran Dirandra. Ada tompel besar memenuhi pipi sebelah kanannya.
“Bagaimana bisa aku punya tompel sebesar ini?” ujar Pangeran Dirandra panik.
Pangeran Dirandra menggosok tompel di pipinya kuat-kuat. Berharap tompel itu mengelupas. Tapi tompel itu tetap melekat di pipi pangeran.
“Pengawal, lakukan sesuatu!” seru pangeran putus asa.
“Ampun Pangeran. Hamba juga tidak tahu.” Jawab pengawal.
“Memangnya apa yang terjadi?” Ki Sakti mendekati pengawal yang ketakutan.
“Tadi sewaktu melewati hutan terlarang, Pangeran berkali-kali mengumpat. Sewaktu melewati tebing, Pangeran tergelincir lalu mengumpat lagi. Tahu-tahu tompel itu ada di pipi Pangeran.” Jawab pengawal.
“Mengapa Pangeran Dirandra mengumpat?” tanya Ki Sakti.
“Pangeran memang terbiasa mengumpat. Raja juga tidak tahu bagaimana cara menghentikan kebiasaan buruk Pangeran Dirandra.” Jawab pengawal pelan supaya tidak didengar Pangeran Dirandra.
Ki Sakti mengangguk. Dia mendekati Pangeran yang masih menggosok-gosok tompel dipipi nya.
“Pangeran, sepertinya Pangeran terkena kutukan hutan terlarang.”
“Saya tahu. Lalu bagaimana caranya menghilangkan tompel sialan ini Ki?”
Ki Sakti menggeleng. Pangeran masih saja mengumpat.
“Saya tidak tahu Pangeran. Saya harus bertapa dahulu untuk mendapatkan jawabannya.”
“Berapa lama?” Tanya Pangeran.
“Saya tidak tahu. Pangeran harap bersabar. Sambil mengunggu Pangeran bisa tinggal disini. Murid saya bisa mengajari Pangeran banyak hal.”
“Tinggal disini? Tidak! Aku tidak mau.”
“Jadi Pangeran akan kembali ke kerajaan dengan keadaan seperti ini?”
Pangeran Dirandra berpikir sejenak. Ki Sakti benar. Dia tidak bisa pulang jika tompel itu belum hilang.
“Baiklah. Aku akan tinggal disini.”
Ki Sakti tersenyum mendengar jawaban Pangeran Dirandra. Ki Sakti memerintahkan muridnya untuk mengantar Pangeran Dirandra ke kamar tamu.
Sementara itu, Ki Sakti menulis surat balasan untuk raja.
Yang terhormat baginda raja,
Semua berjalan sesuai rencana. Pangeran Dirandra akan tinggal disini untuk beberapa waktu.
Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk mendidik Pangeran Dirandra.
Semoga kebiasaan buruk pangeran segera berubah.
Hormat saya
Ki Sakti
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Naskah Setelah Dibedah
Kutukan Pangeran Dirandra
Oleh : Retno Rahayu
Siang itu matahari bersinar terik. Pangeran Dirandra menyeka peluh di dahinya. Matanya membidik sasaran panah dengan seksama. Kraak...
Terdengar suara ranting terinjak. (Bagus juga kalau ditambah : Tiba-tiba terdengar...). Rusa yang dibidik Pangeran Dirandra
“Aaahh....sial.” Pangeran Dirandra berteriak kesal.
“Dasar kamu Pengawal, gara-gara kamu rusa itu kabur. Aku sudah lapar tahu.” (Ini bisa digabung dalam satu paragraf, karena masih satu ucapan tokoh.)
“Mohon maaf,
“Buah lagi-buah lagi. Aku bosan!”
Pangeran Dirandra tampak kesal. Tetapi tidak ada pilihan lain. Dia sudah sangat lapar.
“Apakah pertapaan Ki Sakti masih jauh?” tanya pangeran kepada pengawalnya.
“Tidak Pangeran. Kalau kita lanjutkan perjalanan sekarang, saat matahari terbenam nanti kita sudah
Pangeran Dirandra berhenti makan, lalu bangkit sambil memeriksa surat yang harus ia sampaikan kepada Ki Sakti.
Ya, Pangeran Dirandra sedang mendapat tugas dari raja untuk mengantar surat kepada sahabat raja, Ki Sakti. (ini bisa digabung dengan paragraf di atas.)
Belum jauh berjalan, tiba-tia seekor kadal melintas di depan pangeran. “Kadal buntung.” Pangeran mengumpat,
“Pangeran, kita sekarang berada di hutan terlarang. Sebaiknya Pangeran jangan mengumpat.” Bisik pengawal hati-hati.
“Memangnya kenapa?”
“Hutan terlarang terkenal angker. Kita tidak boleh bertindak sembarangan apalagi berkata kasar. Bisa celaka!”
“Ah, sudah jangan menakuti aku. Aku tidak percaya.”
Tibalah mereka di sebuah tebing yang licin dan curam. Mereka harus berjalan hati-hati. Kalau tidak, bisa terpeleset dan jatuh ke jurang. Tidak sengaja
“Dasar lumut sialan.”
Pangeran mengumpat lagi.
“Pangeran....” ucapan Pengawal terhenti. Matanya membulat melihat wajah pangeran.
“Ada apa?” tanya pangeran heran.
“Ehm...tidak. Sebelum melanjutkan perjalanan, maukah Pangeran berjanji tidak akan mengumpat lagi?” bisik pengawal ketakutan.
“Iya! Aku tidak akan mengumpat lagi. Kalau tidak lupa.” Jawab pangeran dengan ketus. Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan.
Saat matahari terbenam, Pangeran Dirandra dan pengawal sampai di pertapaan Ki Sakti. Tidak berapa lama, Ki Sakti datang menemui mereka.
“Salam hormat, Ki. Saya Pangeran Dirandra dan ini pengawal saya. Kami kemari diutus oleh raja untuk menyampaikan surat ini.” Pangeran Dirandra memperkenalkan diri sambil menyerahkan surat yang ia bawa.
Ki Sakti mengangguk lalu membaca surat dari raja. Setelah selesai membaca, Ki Sakti mengamati Pangeran Dirandra.
“Anak muda, jangan berbohong kepadaku. Kamu bukan Pangeran
Pangeran Dirandra terkejut.
“Apa maksud Ki Sakti? Saya tidak berbohong. Saya Pangeran Dirandra.” (Ini bisa digabung dalam satu paragraf).
Ki Sakti mengamati Pangeran Dirandra kembali.
“Tidak! Kamu bukan Pangeran Dirandra.”
“Bagaimana bisa Ki Sakti bilang begitu?” Pangeran Dirandra merasa marah.
“Saya pernah bertemu Pangeran Dirandra waktu dia masih kecil. Pangeran Dirandra tidak memiliki tompel di pipinya.”
“Saya benar-benar Pangeran Dirandra. Dan saya memang tidak pernah punya tompel. Ki Sakti jangan mengada-ada!”
Ki Sakti mengulurkan sebuah cermin kepada Pangeran Dirandra.
“Lihat bayanganmu di cermin!”
Betapa terkejutnya Pangeran Dirandra. Ada tompel besar memenuhi pipi sebelah kanannya.
“Bagaimana bisa aku punya tompel sebesar ini?” ujar Pangeran Dirandra panik.
Pangeran Dirandra menggosok tompel di pipinya kuat-kuat. Berharap tompel itu mengelupas. Tapi tompel itu tetap melekat di pipi pangeran.
“Pengawal, lakukan sesuatu!” seru pangeran putus asa.
“Ampun Pangeran. Hamba juga tidak tahu.” Jawab pengawal.
“Memangnya apa yang terjadi?” Ki Sakti mendekati pengawal yang ketakutan.
“Tadi sewaktu melewati hutan terlarang, Pangeran berkali-kali mengumpat. Sewaktu melewati tebing, Pangeran tergelincir lalu mengumpat lagi. Tahu-tahu tompel itu ada di pipi Pangeran.” Jawab pengawal.
“Mengapa Pangeran Dirandra mengumpat?” tanya Ki Sakti.
“Pangeran memang terbiasa mengumpat. Raja juga tidak tahu bagaimana cara menghentikan kebiasaan buruk Pangeran
Ki Sakti mengangguk. Dia mendekati Pangeran yang masih menggosok-gosok tompel
“Pangeran, sepertinya Pangeran terkena kutukan hutan terlarang.”
“Saya tahu. Lalu bagaimana caranya menghilangkan tompel sialan
Ki Sakti menggeleng. Pangeran masih saja mengumpat.
“Saya tidak tahu Pangeran. Saya harus bertapa dahulu untuk mendapatkan jawabannya.”
“Berapa lama?” Tanya Pangeran.
“Saya tidak tahu. Pangeran harap bersabar. Sambil mengunggu Pangeran bisa tinggal
“Tinggal
“Jadi Pangeran akan kembali ke kerajaan dengan keadaan seperti ini?”
Pangeran Dirandra berpikir sejenak. Ki Sakti benar. Dia tidak bisa pulang jika tompel itu belum hilang.
“Baiklah. Aku akan tinggal
Ki Sakti tersenyum mendengar jawaban Pangeran Dirandra. Ki Sakti memerintahkan muridnya untuk mengantar Pangeran Dirandra ke kamar tamu. Sementara itu, Ki Sakti menulis surat balasan untuk raja.
Yang terhormat baginda raja,
Semua berjalan sesuai rencana. Pangeran Dirandra akan tinggal
Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk mendidik Pangeran Dirandra.
Semoga kebiasaan buruk pangeran segera
Hormat saya
Ki Sakti
(Menurut Kurcaci Pos, penulisan ini surat ini tidak pas, kak Retno. Selain karena kamera ceritanya lepas dari Pangeran Dirandra. Lalu endingnya juga mengantung. Tidak ada penyelesaian).
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Catatan Kurcaci Pos :
Salam, Kak Retno.
Ini idenya bagus, Mbak. Dari cerita ini bisa disampaikan pesan moral, agar anak-anak jangan mengumpat. Dan ini penerapannya bagus, karena diterapkan pada dongeng yang tokoh dewasa. Kalau diterapkan pada cerpen memang riskan, Kak. karena dalam cerita nanti tokoh anak-anaknya memang diceritakan mengumpat.
Hanya sayangnya, alur ceritanya terlalu diulur, Mbak Retno, sedangkan alur penyelesaian konfliknya tidak ada, akhirnya endingnya menggantung. Pembaca anak tidak jelas bagaimana dengan Pangeran Dirandra? Apakah dia bisa mengubah kebiasaan mengumpatnya itu? Lalu dengan cara apa? Pembaca anak itu perlu diberikan solusi yang jelas.
Jadi sebaiknya, begitu masuk opening, langsung konflik, Kak Retno. Tidak perlu terlalu panjang menjelaskan sebab akibatnya. Misalnya Pangeran Dirandra suka sekali mengumpat. Suatu hari dia berburu di hutan yang kebetulan hutan terlarang. Saat gagal membidik rusa, Pangeran Diranndra mengumpat. Tiba-tiba ada tompel besar di pipinya.
Pangeran Dirandra bingung. Dia tidak mungin kembali ke istana dengan tompel besar di wajahnya. Anehnya, semakin Pangeran mengumpat, tompel itu semakin besar. Nah, saat sedang bingung, dia ketemu Ki Sakti. Ki Sakti sanggup menolongnya asalkan ada syaratnya.
Nah, mainkan syarat itu dengan alur berliku. Misalnya Pangeran Dirandra tidak boleh mengumpat dan berusaha berkata baik. Awalnya susah, sampai akhirnya pangeran bisa. Jadi ada solusi konfliknya. Pembaca anak-anak jelas, oh... harus dibiasakan tidak mengumpat, karena tidak baik. harus dibiasakan berkata baik.
Koreksi lainnya adalah masih banyak penempatan tanda baca kurang tepat ya, Kak Retno. Jadi bisa dipelajari lagi. Termasuk penggunaan "DI" yang tidak selamanya harus disambung.
Demikian catatan dari Kurcaci Pos, Kak Retno. Terus semangat menulis.
Kurcaci Pos
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
Delete