Wajahnya kucel dan bajunya kumal. Kulitnya hitam dan rambutnya sedikit. Teman-teman biasa memanggilnya Timing. Tapi, tidak ada yang tahu siapa nama aslinya. Timing tinggal bersama neneknya di sebuah rumah sempit, karena orangtuanya pergi entah ke mana.
Tentu saja teman-teman tidak ada yang suka bermain bersama Timing. Apalagi Timing masih sering ingusan. Selalu ada sapu tangan yang disematkan di bagian dada bajunya yang kumal. Mungkin agar saputangan itu tidak jatuh.
Seperti biasa, setiap sore, anak-anak selalu bermain di lapangan kampung. Anak laki-laki bermain bola sepak, sedangkan anak perempuan bermain lompat tali. Semua tertawa gembira, kecuali Timing. Seperti biasa, dia hanya memperhatikan kami bermain dari balik pohon besar. Kasihan sekali, dia.
“Kenapa Timing tidak kita ajak main saja,” usulku. Waktu itu, aku baru seminggu pindah di sini, Karena Papaku yang seorang dokter ditugaskan di kampung ini.
Isna langsung melotot padaku. “Apa kamu mau ketularan kutu rambutnya?”
“Iya, belum ingusnya yang menjijikkan itu,” tambah Heppy.
Teman-teman ramai berkomentar. Semua menjelek-jelekkan Timing. Akhirnya, sejak itu aku tidak berani usul lagi untuk mengajak Timing bermain bersama.
Sore itu, aku tidak bermain lompat tali. Dengan semangat, aku menuntun sepeda mini baruku menuju lapangan. Sepeda itu hadiah ulang tahunku yang ke delapan dari Papa dan Mama. Aku memang baru bisa naik sepeda.
Akhirnya aku sampai di lapangan. Teman-teman langsung berhenti bermain lompat tali dan mengerubungiku. Mungkin karena baru aku yang mempunyai sepeda mini sebagus itu hehehe...
Dengan percaya diri, aku mulai naik sepeda. Awalnya pelan-pelan saja. Tapi lama-lama, aku mengayuh lebih kencang. Apalagi teman-teman bersorak sambil bertepuk tangan. Aku bertambah semangat.
Bruk... tiba-tiba sepedaku oleng, karena ban depan menabrak sebuah batu. Aku hilang keseimbangan dan terjatuh. Sepeda menimpa tubuhku
Hahahaha..... teman-teman malah menertawakanku. Mereka asik saja menonton aku terjatuh. Padahal lututku luka dan berdarah. Aduh, kenapa teman-teman tidak ada yang segera menolongku sih, gumamku sedih.
Tiba-tiba Timing datang membantu. Dengan cepat dia mengambil sepeda dan membantuku berdiri. Teman-teman hanya melongo sambil berbisik-bisik. Timing lalu mengantarku pulang.
“Terima kasih, ya,” ucapku sebelum masuk ke dalam rumah.
“Sama-sama,” jawab Timing.
“Eh, Rania kenapa?” tanya Mama panik.
“Jatuh dari sepeda, Ma!” jawabku. “Timing yang mengantarkan aku.”
“Wah, kamu baik sekali. Ayo masuk dulu! Tante buat donat,” ajak Mama.
Timing malu-malu masuk ke rumahku.
Mama segera mengobati lukaku. Aku memperhatikan Timing yang sedang makan donat. Lucu sekali cara makannya. Pertama, dia memakan satu persatu butiran meisis di atas donat. Setelah habis, dia mengigit donat sedikit demi sedikit, lalu mengunyanhnya berlahan-lahan.
“Kenapa cara makan donatmu seperti itu, Timing?” tanyaku sambil tertawa geli.
“Saya baru makan kue seenak ini,” kata Timing jujur.
Wah... aku jadi merasa bersalah. Selama ini aku sering menyisakan makanan. Sekarang aku tahu kenapa Mama selalu memarahiku. Ternyata masih banyak teman-teman seperti Timing yang membutuhkan makanan.
Sejak itu kami jadi akrab. Hampir setiap hari, Timing bermain ke rumahku. Kami sering bermain boneka dan masak-masakan. Ternyata Timing anak yang baik. Berarti selama ini aku salah, karena melihat Timing hanya dari penampilan luar saja.
Sehabis bermain, Mama selalu menyuruh Timing mandi, gosok gigi dan cuci rambut. Lalu aku memberi Timing baju-bajuku yang sudah tidak muat. Kini Timing terlihat bersih.
Hari itu Timing tidak datang ke rumahku. Padahal kami sudah janji akan bermain bersama. Apalagi hari ini Mama membuat donat kesukaan Timing. Aku suka melihat Timing yang tersipu malu, setiap aku mengodanya saat makan donat
Besoknya dan besoknya lagi, Timing tidak pernah bermain di rumahku. Aku segera mencari Timing di rumahnya. Tapi rumah Timing sudah kosong. Kata teman-teman, Timing pergi naik mobil bagus. Aku sedih sekali. Sejak itu, aku tidak pernah bertemu Timing lagi.
Setahun sudah berlalu. Hari itu, aku baru pulang sekolah. Ada sebuah mobil bagus parkir di depan rumah. Tidak biasanya Mama menyambutku di depan pintu.
“Ada tamu spesial untukmu, Rania,” kata mama berseri-seri.
“Siapa, Ma?” tanyaku penasaran.
“Halo Rania!” sapa seorang anak perempuan. Wajahnya bersih dan rambutnya hitam mengilap. Baju dan sepatunya juga bagus dan merek terkenal.
“Timing....!” jeritku. Aku langsung memeluk Timing.
Kejutan untukku. Aku tidak menyangka Timing akan datang lagi. Kami bercerita banyak. Ternyata, setelah neneknya meninggal, dia diadopsi sebuah keluarga.
“Sekarang namaku diubah jadi Timianka Putria Ayu. Tapi khusus untukmu, boleh tetap memanggilku Timing, Rania!.”
Ah, Timing, walau kini dia sudah berbeda, tapi Timing Tetap rendah hati. Aku harus mencontoh sifat Timing itu.
Bambang Irwanto
Dimuat di Kompas Anak Minggu |
Tentu saja teman-teman tidak ada yang suka bermain bersama Timing. Apalagi Timing masih sering ingusan. Selalu ada sapu tangan yang disematkan di bagian dada bajunya yang kumal. Mungkin agar saputangan itu tidak jatuh.
Seperti biasa, setiap sore, anak-anak selalu bermain di lapangan kampung. Anak laki-laki bermain bola sepak, sedangkan anak perempuan bermain lompat tali. Semua tertawa gembira, kecuali Timing. Seperti biasa, dia hanya memperhatikan kami bermain dari balik pohon besar. Kasihan sekali, dia.
“Kenapa Timing tidak kita ajak main saja,” usulku. Waktu itu, aku baru seminggu pindah di sini, Karena Papaku yang seorang dokter ditugaskan di kampung ini.
Isna langsung melotot padaku. “Apa kamu mau ketularan kutu rambutnya?”
“Iya, belum ingusnya yang menjijikkan itu,” tambah Heppy.
Teman-teman ramai berkomentar. Semua menjelek-jelekkan Timing. Akhirnya, sejak itu aku tidak berani usul lagi untuk mengajak Timing bermain bersama.
Sore itu, aku tidak bermain lompat tali. Dengan semangat, aku menuntun sepeda mini baruku menuju lapangan. Sepeda itu hadiah ulang tahunku yang ke delapan dari Papa dan Mama. Aku memang baru bisa naik sepeda.
Akhirnya aku sampai di lapangan. Teman-teman langsung berhenti bermain lompat tali dan mengerubungiku. Mungkin karena baru aku yang mempunyai sepeda mini sebagus itu hehehe...
Dengan percaya diri, aku mulai naik sepeda. Awalnya pelan-pelan saja. Tapi lama-lama, aku mengayuh lebih kencang. Apalagi teman-teman bersorak sambil bertepuk tangan. Aku bertambah semangat.
Bruk... tiba-tiba sepedaku oleng, karena ban depan menabrak sebuah batu. Aku hilang keseimbangan dan terjatuh. Sepeda menimpa tubuhku
Hahahaha..... teman-teman malah menertawakanku. Mereka asik saja menonton aku terjatuh. Padahal lututku luka dan berdarah. Aduh, kenapa teman-teman tidak ada yang segera menolongku sih, gumamku sedih.
Tiba-tiba Timing datang membantu. Dengan cepat dia mengambil sepeda dan membantuku berdiri. Teman-teman hanya melongo sambil berbisik-bisik. Timing lalu mengantarku pulang.
“Terima kasih, ya,” ucapku sebelum masuk ke dalam rumah.
“Sama-sama,” jawab Timing.
“Eh, Rania kenapa?” tanya Mama panik.
“Jatuh dari sepeda, Ma!” jawabku. “Timing yang mengantarkan aku.”
“Wah, kamu baik sekali. Ayo masuk dulu! Tante buat donat,” ajak Mama.
Timing malu-malu masuk ke rumahku.
Mama segera mengobati lukaku. Aku memperhatikan Timing yang sedang makan donat. Lucu sekali cara makannya. Pertama, dia memakan satu persatu butiran meisis di atas donat. Setelah habis, dia mengigit donat sedikit demi sedikit, lalu mengunyanhnya berlahan-lahan.
“Kenapa cara makan donatmu seperti itu, Timing?” tanyaku sambil tertawa geli.
“Saya baru makan kue seenak ini,” kata Timing jujur.
Wah... aku jadi merasa bersalah. Selama ini aku sering menyisakan makanan. Sekarang aku tahu kenapa Mama selalu memarahiku. Ternyata masih banyak teman-teman seperti Timing yang membutuhkan makanan.
Sejak itu kami jadi akrab. Hampir setiap hari, Timing bermain ke rumahku. Kami sering bermain boneka dan masak-masakan. Ternyata Timing anak yang baik. Berarti selama ini aku salah, karena melihat Timing hanya dari penampilan luar saja.
Sehabis bermain, Mama selalu menyuruh Timing mandi, gosok gigi dan cuci rambut. Lalu aku memberi Timing baju-bajuku yang sudah tidak muat. Kini Timing terlihat bersih.
Hari itu Timing tidak datang ke rumahku. Padahal kami sudah janji akan bermain bersama. Apalagi hari ini Mama membuat donat kesukaan Timing. Aku suka melihat Timing yang tersipu malu, setiap aku mengodanya saat makan donat
Besoknya dan besoknya lagi, Timing tidak pernah bermain di rumahku. Aku segera mencari Timing di rumahnya. Tapi rumah Timing sudah kosong. Kata teman-teman, Timing pergi naik mobil bagus. Aku sedih sekali. Sejak itu, aku tidak pernah bertemu Timing lagi.
Setahun sudah berlalu. Hari itu, aku baru pulang sekolah. Ada sebuah mobil bagus parkir di depan rumah. Tidak biasanya Mama menyambutku di depan pintu.
“Ada tamu spesial untukmu, Rania,” kata mama berseri-seri.
“Siapa, Ma?” tanyaku penasaran.
“Halo Rania!” sapa seorang anak perempuan. Wajahnya bersih dan rambutnya hitam mengilap. Baju dan sepatunya juga bagus dan merek terkenal.
“Timing....!” jeritku. Aku langsung memeluk Timing.
Kejutan untukku. Aku tidak menyangka Timing akan datang lagi. Kami bercerita banyak. Ternyata, setelah neneknya meninggal, dia diadopsi sebuah keluarga.
“Sekarang namaku diubah jadi Timianka Putria Ayu. Tapi khusus untukmu, boleh tetap memanggilku Timing, Rania!.”
Ah, Timing, walau kini dia sudah berbeda, tapi Timing Tetap rendah hati. Aku harus mencontoh sifat Timing itu.
Bambang Irwanto