Hup! Hup! Momo monyet melompat dari satu pohon ke pohon lainnya. Hari ini Momo sangat senang, karena mendapat tiga sisir pisang. Hohoho.. Momo tertawa puas. Goresan di tubuhnya yang terkena ranting pohon pun tak terasa sakit.
Setelah minum air dari telaga, Momo berjalan pulang memikul hasil perburuannya. Nanti malam, ia berencana akan mengundang teman-teman dekatnya, Monyi dan Modut untuk makan malam bersamanya. Syalalalala.. Momo bersenandung riang.
“Huhuhu..."
Tiba-tiba langkah Momo terhenti. Wah, seperti suara tangisan. Momo menajamkan telinganya.
"Huhuhu.."
“Nah, terdengar lagi,” gumam Momo. Pelan-pelan Momo berjalan menuju sumber tangisan. Ternyata di dekat telaga, ada Moti dan Moli, anaknya.
"Hai Moti! Kenapa Moli menangis?" sapa Momo.
“Hai Momo.. Moli masih lapar, tapi makanan kami kurang. Aku sedang sakit, jadi tidak bisa mencari makanan," ujar Moti.
"Wah, kasihan sekali kalian." Momo merasa iba.
Hmm.. Momo menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia bimbang. Bagaimana ya, pisang-pisang ini untuk undangan nanti malam, gumamnya. Kembali ia menggaruk-garuk kepalanya. Ah, tapi mereka lebih membutuhkan.
"Ambil lah pisang ini! Semoga kalian kenyang!" Momo melemparkan satu sisir pisang kepada Moti.
"Wah, Momo, apa benar kau tidak membutuhkan pisang ini? Kau sudah payah mencarinya."
"Ah, tak apa, aku masih punya banyak!" Momo nyengir memamerkan gigi-giginya yang putih.
"Terima kasih, Momo!" seru Moti dengan mata berbinar-binar.
"Sampai jumpa!" Momo melambaikan tangannya yang panjang yang dibalas dengan lambaian Moti dan Moli.
Momo melanjutkan perjalanannya. Di tengah jalan, Momo bertemu dengan temannya, Mocil si monyet kecil. Wajah Mocil tampak muram.
"Hei Mocil! Sedang apa kamu?" tanya Momo.
"Aku tadi terjatuh dan kakiku luka. Sekarang aku tak bisa pulang ke rumah."
"Hmm.. Baiklah, Mocil, aku akan menolongmu!"
Momo meminta Mocil naik ke atas punggungnya, lalu Momo melompat dari pohon ke pohon. Sampai di rumahnya, wajah Mocil tetap muram.
"Kenapa kamu tetap sedih, Mocil?" tanya Momo heran.
"Aku lapar, tapi tadi belum sempat mencari makan. Nenekku pun butuh makan," Ucap Mocil sambil menunjuk neneknya yang sedang tidur.
Duh, kalau kuberikan pisangku, bagaimana acara nanti malam, ya? Momo bergumam. Ia kembali bimbang sambil menggaruk-garuk kepalanya. Melihat Mocil yang mungil kelaparan, Momo tidak tega.
"Kalau begitu, ambil pisang ini untukmu dan nenekmu!" Momo memberikan satu setengah sisir pisang kepada Mocil.
"Terima kasih, Pak Momo!" Mocil melompat-lompat dan memeluk Momo. Momo pun tersenyum.
Olalaa.. Pisangku tinggal setengah sisir! Itu berarti nanti malam tidak bisa mengundang Monyi dan Modut! Tiba-tiba Momo tertunduk lesu. Ah, sudahlah, tak mengapa hari ini gagal pesta. Lain kali aku akan mengundang teman-temanku, janji Momo pada dirinya sendiri.
Sesampainya di rumah, Momo memakan setengah sisir pisang yang tersisa. Sore harinya, Momo kembali pergi mencari makan. Ia tadi masih lapar. Setengah sisir pisang, sangat kurang untuknya.
Hup! Hup! Dengan lincah Momo melompati pohon demi pohon. Namun, sudah beberapa pohon ia lompati, belum satu pisang pun ia dapati. Momo berhenti sejenak untuk menentukan kemana lagi ia harus mencari makan.
"Aarrgh..!"
Tiba-tiba Momo dikejutkan oleh suara keras di bawah pohon. Momo terkejut. Ia melihat Mogo bersama kayu-kayu yang berserakan. Mogo adalah moyet bertubuh tinggi besar, suaranya keras, dan wajahnya seram. Sehingga, tak banyak monyet yang berani dekat dengannya di hutan itu. Mogo berteriak lagi. Kali ini ia duduk di tumpukan kayu-kayunya. Meskipun gemetar, Momo memberanikan diri untuk bertanya.
"Hai Mo..Mogo.. Ada apa?"
Mogo menengok ke atas. "Huh, aku harus membawa kayu-kayu ini ke rumahku. Aku hendak menganti lantai rumahku. Tapi tali ikatannya lepas!"
Momo berpikir sejenak. Ia hendak membantu Mogo. "Engg.. Ka.. Kalo kamu mau, aku bisa membantumu membawanya sampai ke rumahmu, " sahut Momo takut-takut.
"Turunlah, dan bantulah aku membawanya, " pinta Mogo. Momo pun turun. Ia membantu mengumpulkan kayu-kayu yang berserakan dan berjalan membawanya bersama Mogo.
Sepanjang perjalanan, Momo tidak berani berkata-kata. Suasana hening, hanya terdengar desahan Mogo yang kelelahan dan suara perut Momo yang kelaparan.
"Taruh saja semua kayu-kayu itu di sini, Momo. Lalu ikutlah bersamaku ke belakang!" ajak Mogo.
Momo ragu-ragu. Namun, ia mengikuti Mogo ke belakang rumahnya. Mata Momo yang bulat besar membelalak saat melihat ada kebun pisang di belakang rumah Mogo.
"Ini kebun pisangku. Dari tadi aku dengar perutmu berbunyi, sepertinya kamu sangat lapar! Sebagai rasa terima kasihku, ambil lah pisang sebanyak apa pun yang kamu mau!" ujar Mogo sambil tersenyum lebar.
Momo tak dapat menahan kegembiraannya. Ia melonjak-lonjak kegirangan. Lalu Momo mengambil pisang secukupnya dan berpamitan. Mata Momo berbinar-binar saat teringat Monyi dan Modut. Momo ingin segera menemui dan mengundang mereka untuk makan pisang di rumahnya malam nanti.
Afrilla Dwitasari
Dimuat di Solo Pos |
Setelah minum air dari telaga, Momo berjalan pulang memikul hasil perburuannya. Nanti malam, ia berencana akan mengundang teman-teman dekatnya, Monyi dan Modut untuk makan malam bersamanya. Syalalalala.. Momo bersenandung riang.
“Huhuhu..."
Tiba-tiba langkah Momo terhenti. Wah, seperti suara tangisan. Momo menajamkan telinganya.
"Huhuhu.."
“Nah, terdengar lagi,” gumam Momo. Pelan-pelan Momo berjalan menuju sumber tangisan. Ternyata di dekat telaga, ada Moti dan Moli, anaknya.
"Hai Moti! Kenapa Moli menangis?" sapa Momo.
“Hai Momo.. Moli masih lapar, tapi makanan kami kurang. Aku sedang sakit, jadi tidak bisa mencari makanan," ujar Moti.
"Wah, kasihan sekali kalian." Momo merasa iba.
Hmm.. Momo menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia bimbang. Bagaimana ya, pisang-pisang ini untuk undangan nanti malam, gumamnya. Kembali ia menggaruk-garuk kepalanya. Ah, tapi mereka lebih membutuhkan.
"Ambil lah pisang ini! Semoga kalian kenyang!" Momo melemparkan satu sisir pisang kepada Moti.
"Wah, Momo, apa benar kau tidak membutuhkan pisang ini? Kau sudah payah mencarinya."
"Ah, tak apa, aku masih punya banyak!" Momo nyengir memamerkan gigi-giginya yang putih.
"Terima kasih, Momo!" seru Moti dengan mata berbinar-binar.
"Sampai jumpa!" Momo melambaikan tangannya yang panjang yang dibalas dengan lambaian Moti dan Moli.
Momo melanjutkan perjalanannya. Di tengah jalan, Momo bertemu dengan temannya, Mocil si monyet kecil. Wajah Mocil tampak muram.
"Hei Mocil! Sedang apa kamu?" tanya Momo.
"Aku tadi terjatuh dan kakiku luka. Sekarang aku tak bisa pulang ke rumah."
"Hmm.. Baiklah, Mocil, aku akan menolongmu!"
Momo meminta Mocil naik ke atas punggungnya, lalu Momo melompat dari pohon ke pohon. Sampai di rumahnya, wajah Mocil tetap muram.
"Kenapa kamu tetap sedih, Mocil?" tanya Momo heran.
"Aku lapar, tapi tadi belum sempat mencari makan. Nenekku pun butuh makan," Ucap Mocil sambil menunjuk neneknya yang sedang tidur.
Duh, kalau kuberikan pisangku, bagaimana acara nanti malam, ya? Momo bergumam. Ia kembali bimbang sambil menggaruk-garuk kepalanya. Melihat Mocil yang mungil kelaparan, Momo tidak tega.
"Kalau begitu, ambil pisang ini untukmu dan nenekmu!" Momo memberikan satu setengah sisir pisang kepada Mocil.
"Terima kasih, Pak Momo!" Mocil melompat-lompat dan memeluk Momo. Momo pun tersenyum.
Olalaa.. Pisangku tinggal setengah sisir! Itu berarti nanti malam tidak bisa mengundang Monyi dan Modut! Tiba-tiba Momo tertunduk lesu. Ah, sudahlah, tak mengapa hari ini gagal pesta. Lain kali aku akan mengundang teman-temanku, janji Momo pada dirinya sendiri.
Sesampainya di rumah, Momo memakan setengah sisir pisang yang tersisa. Sore harinya, Momo kembali pergi mencari makan. Ia tadi masih lapar. Setengah sisir pisang, sangat kurang untuknya.
Hup! Hup! Dengan lincah Momo melompati pohon demi pohon. Namun, sudah beberapa pohon ia lompati, belum satu pisang pun ia dapati. Momo berhenti sejenak untuk menentukan kemana lagi ia harus mencari makan.
"Aarrgh..!"
Tiba-tiba Momo dikejutkan oleh suara keras di bawah pohon. Momo terkejut. Ia melihat Mogo bersama kayu-kayu yang berserakan. Mogo adalah moyet bertubuh tinggi besar, suaranya keras, dan wajahnya seram. Sehingga, tak banyak monyet yang berani dekat dengannya di hutan itu. Mogo berteriak lagi. Kali ini ia duduk di tumpukan kayu-kayunya. Meskipun gemetar, Momo memberanikan diri untuk bertanya.
"Hai Mo..Mogo.. Ada apa?"
Mogo menengok ke atas. "Huh, aku harus membawa kayu-kayu ini ke rumahku. Aku hendak menganti lantai rumahku. Tapi tali ikatannya lepas!"
Momo berpikir sejenak. Ia hendak membantu Mogo. "Engg.. Ka.. Kalo kamu mau, aku bisa membantumu membawanya sampai ke rumahmu, " sahut Momo takut-takut.
"Turunlah, dan bantulah aku membawanya, " pinta Mogo. Momo pun turun. Ia membantu mengumpulkan kayu-kayu yang berserakan dan berjalan membawanya bersama Mogo.
Sepanjang perjalanan, Momo tidak berani berkata-kata. Suasana hening, hanya terdengar desahan Mogo yang kelelahan dan suara perut Momo yang kelaparan.
"Taruh saja semua kayu-kayu itu di sini, Momo. Lalu ikutlah bersamaku ke belakang!" ajak Mogo.
Momo ragu-ragu. Namun, ia mengikuti Mogo ke belakang rumahnya. Mata Momo yang bulat besar membelalak saat melihat ada kebun pisang di belakang rumah Mogo.
"Ini kebun pisangku. Dari tadi aku dengar perutmu berbunyi, sepertinya kamu sangat lapar! Sebagai rasa terima kasihku, ambil lah pisang sebanyak apa pun yang kamu mau!" ujar Mogo sambil tersenyum lebar.
Momo tak dapat menahan kegembiraannya. Ia melonjak-lonjak kegirangan. Lalu Momo mengambil pisang secukupnya dan berpamitan. Mata Momo berbinar-binar saat teringat Monyi dan Modut. Momo ingin segera menemui dan mengundang mereka untuk makan pisang di rumahnya malam nanti.
Afrilla Dwitasari
0 Response to "Pisang-Pisang Momo"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung ke Rumah Kurcaci Pos. Tidak diperkenankan menggunakan konten di blog ini, tanpa seizin Kurcaci Pos. Terima kasih.