Pai Tupai adalah tupai perawat. Kali ini ia bertugas merawat Nenek Bia. Pai bekerja dengan rajin. Sejak pagi ia sudah menyiapkan air hangat dan membuat sarapan. Matahari belum terbit ketika Pai menyelesaikan pekerjaannya, membersihkan tubuh Nenek Bia, menyuapi dan meminumkan obat. Ia begitu menikmati pekerjaannya.
Hari ini Pai mendapat kabar dari keluarganya. Keluarga Pai akan pergi berlibur selama sepekan.
“Kau bisa ikut, Pai?”
Tentu saja Pai menggeleng. Ia sudah mendapatkan imbalan jasa dari cucu Nenek Bia. Pai harus merawat Nenek Bia empat minggu ini. Selama cucu Nenek Bia bertugas di luar kota.
Malam ini Pai merenung di kamarnya yang luas namun kali ini terasa sempit. Ini sudah kali sekian ia tidak bisa ikut acara keluarga. Jadwal bertugas selalu bertepatan dengan liburan. Tiba-tiba Pai merasa sangat bosan dengan pekerjaannya.
***
“Aku sedang malas mengerjakan pekerjaanku,” keluhnya dalam perjalanan menuju rumah Nenek Bia.
Pandangan Pai tertuju pada gerombolan burung warna-warni yang terbang riang berpindah dari satu pohon ke pohon lain.
“Mereka sangat ceria berkumpul bersama keluarga.”
Pai baru saja menyelesaikan seluruh tugas ketika tiba-tiba pintu diketuk. Cucu Nenek Bia kembali.
“Tugasku ditunda selama tiga hari. Jadi, kau bisa istirahat dulu, Pai,” tawarnya.
Pai tentu saja sangat senang.
Setelah menyelesaikan seluruh tugas, Pai pamit dan berjanji akan kembali pada hari keempat.
Di jalan, Pai bertemu dengan Tupi.
“Apa kau pernah bosan dengan pekerjaanmu?” tanya Pai.
Tupi tampak terkejut mendengar ucapan Pai.
“Bukannya kau selalu bersemangat mengerjakan tugas-tugasmu, Pai?”
Pai menggeleng.
“Entahlah. Aku merasa sendiri. Saat keluargaku pergi liburan aku malah sedang mengurus tupai sakit. Aku jadi bosan.”
“Apa kau pikir pekerjaanku lebih menyenangkan,” tanya Tupi.
Pai mengangguk.
“Tentu saja. Setiap hari kau selalu terlihat bersemangat.”
Akhirnya, Tupi membuat sebuah penawaran.
“Bagaimana kalau kau membantuku menjaga toko. Satu hari saja.”
Pai setuju.
***
Esoknya, begitu matahari terbit Pai bergegas menuju toko Tupi.
“Hari ini kami ada acara keluarga.” Tupi memberikan petunjuk tentang apa yang harus Pai lakukan. Ia menerima daftar harga yang Tupi sodorkan. Cukup mudah, pikir Pai. Namun setelah beberapa menit berlalu, hanya ada beberapa pembeli. Pai jadi bosan. Berkali-kali ia menguap.
“Sepertinya aku tidak cocok menjadi penjaga toko. Tapi … mengapa Tupi kelihatan sangat semangat menjaga toko ini?”
Saking lelahnya, Pai tertidur di toko.
Menjelang sore Tupi kembali.
“Astaga! Untung semua baik-baik saja.” Pai melihat raut wajah kecewa Tupi. Ia segera minta maaf pada Tupi.
“Tidak ada pekerjaan yang membosankan. Selama kau melakukan tugasmu dengan ikhlas, maka semua pekerjaan akan terasa menyenangkan, Pai,” nasihat Tupi.
Pai kemudian memutuskan untuk kembali ke rumah. Matahari hampir tenggelam.
***
Keesokan harinya, Pai bertemu Upi, tupai petani. Upi sedang rebahan di gubuk sawah sambil mengipasi badan.
“Bolehkah aku membantumu, Upi?”
Upi tersenyum dan memberikan cangkul, sabit, dan ani-ani.
Pai sudah mengelap peluh berkali-kali. Padahal bagian yang ia kerjakan masih sedikit.
“Aku permisi. Ternyata semua pekerjaan sama saja, melelahkan dan membosankan!” Pai mengeluh.
Upi mengucapkan terima kasih atas bantuan Pai. “Cintai pekerjaanmu, Pai. Rasa lelah akan hilang.”
“Pergilah ke rumah Pipi. Banyak kue enak di sana,” saran Upi.
Malam ini Pai merasa seluruh tubuhnya nyeri.
***
Akhirnya pagi ini Pai melangkahkan kaki menuju rumah Pipi.
“Semoga ada pekerjaan yang lebih menyenangkan di sana,” harap Pai.
Pai sampai di rumah Pipi. Ia melihat tupai itu sedang mencampur beberapa bahan pembuat kue tar. Wajah dan tangan Pipi penuh tepung.
“Aku juga ingin membuat kue tar,” Pai mendekati Pipi.
Pai diminta mengaduk adonan sampai tercampur.
“Apakah ini sudah bisa?” tanya Pai.
Pipi menggeleng. “Masih belum.”
Pai kembali mengaduk. Namun lagi-lagi Pipi bilang belum.
“Aku lelah, Pi. Izinkan aku istirahat.”
Pai hanya melihat Pipi. Ia sangat heran. Bagaimana mungkin Pipi begitu bersemangat mengerjakan semuanya. Padahal membuat kue itu sangat melelahkan.
Satu jam kemudian tercium aroma kue yang mulai matang.
“Sungguh enak aroma kue ini.” Pai menelan sedikit air liur. Ia mencicipi potongan kue tar.
“Kue ini lezat. Kau memang koki hebat!”
Pai melihat bola mata Pipi berbinar saat mendengar pujian Pai.
“Jika kau melakukan suatu pekerjaan dengan hati, maka kau akan bahagia, Pai,” nasihat Pipi.
***
Pai merenungi ucapan Tupi, Upi dan Pipi. Mereka semua begitu menikmati pekerjaannya. Padahal pekerjaan yang mereka lakukan itu sangat melelahkan bahkan membosankan. Pai jadi teringat pada pekerjaannya selama ini.
“Nenek Bia sudah semakin sehat. Andaikan aku bekerja tidak benar, maka semua usaha akan percuma. Aku rindu nenek Bia. Maafkan aku, Nek,” sesal Pai.
Di hari keempat Pai kembali ke rumah Nenek Bia. Sejak hari itu ia kembali bersemangat. Pai mengerjakan semua tugasnya dengan senang hati. Karena kesehatan Nenek Bia semakin baik, cucu Nenek Bia memberikan bonus imbalan jasa! Pai sangat senang.
Karunia Sylviany Sambas
0 Response to "Pekerjaan Istimewa Pai"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung ke Rumah Kurcaci Pos. Tidak diperkenankan menggunakan konten di blog ini, tanpa seizin Kurcaci Pos. Terima kasih.