“Tolong…”
Nenek Amara berhenti
memetik daun-daun obat. Ia mendengar ada suara yang
minta tolong. “Ah, mungkin hanya suara angin,” pikir nenek
Amara, lalu kembali sibuk memetik daun obat.
![]() |
Desain Canva |
Nenek Amara tinggal berdua bersama Salora
di sebuah gubuk di tepi hutan. Setiap hari nenek Amara masuk hutan untuk
memetik daun-daun obat. Daun-daun itu lalu diramu menjadi obat dan dijual di
pasar desa.
“Tolong...”
Nenek Amara kembali
mendengar suara minta tolong.
“Benar, ada yang minta
tolong,” nenek Amara yakin. Ia bergegas mencari sumber suara itu.
Nenek Amara sangat terkejut. Ia melihat
seorang pemuda sedang merintih kesakitan.
“Apa yang terjadi padamu?” tanya
Nenek Amara.
“Namaku Ramon, Nek. Tolong aku!
Tadi kudaku terkejut karena tiba-tba melintas seekor kelinci. Kudaku berlari
kencang, dan aku terjatuh,” cerita pemuda itu. Saat nenek Amara melihat
sekeliling, ia melihat ada seekor kuda berwarna cokelat.
Nenek
Amara segera memeriksa keadaan panci. Ternyata kaki kiri Ramon
terkilir dan beberapa bagian tubuhnya terluka. “Kakimu harus segera diobati,
anak muda. Tapi ramuannya ada di rumah saya. Apa kamu mau dibawa ke rumahku?”
“Mau, Nek!” jawab Ramon sambil
meringis kesakitan.
Dengan susah payah, nenek Amara
membantu Ramon naik ke atas kudanya.Nenek Amara lalu menuntun kuda cokelat itu menuju
rumahnya.
Sesampai di rumah, nenek
Amara segera disambut oleh Salora.
“Apa yang terjadi, Nek?” tanya
Salora, gadis sebatang kara yang telah dirawat oleh nenek Amara sejak kecil.
Nenek Amara segera
bercerita. Salora mengangguk mengerti. “Segera buat bubur, Salora! Aku akan
segera membuat ramuan obat,” suruh nenek Amara.
“Baik,
Nek!” jawab Salora lalu bergegas ke dapur.
Setelah membantu Ramon
berbaring di tempat tidur, nenek Amara segera meramu ramuan obat untuk diminum.
Asap mengepul-ngepul dari kualinya. Nenek Amara juga membuat racikan obat untuk
membalur kaki Ramon yang terluka.
Setelah menghabiskan
semangkuk bubur, nenek Amara segera menyuruh Ramon meminum ramuan obatnya.
Tidak lupa nenek Amara membalur luka Ramon. Tidak lama, Ramon pun tertidur.
Seminggu kemudian, kaki Ramon sudah membaik.
Nenek Amara dan Salora sangat senang. Ramon pun pamit pulang.
“Terima kasih atas
pertolongan Nenek dan Salora,” ucap Ramon saat pamit.
“Sama-sama, Ramon! Hati-hati
di perjalanan!” pesan nenek Amara.
Ramon pun memacu kudanya. Tidak
lama, Ramon sudah tak tampak lagi. Nenek Amara dan Salora kembali tinggal
berdua.
“Nek, sepertinya aku akan pergi
ke kota mencari pekerjaan,” ucap Salora tiba-tiba.
Nenek Amara agak terkejut. “Kenapa,
Salora? Kamu sudah tidak senang tinggal bersama Nenek?”
“Tidak, Nek! Saya justru ingin
mencari pekerjaan di kota, agar bisa mendapatkan uang lebih. Saya ingin
membahagiakan Nenek yang telah merawat saya,” jelas Salora.
Nenek Amara tercenung lama. Ia
menyadari kalau Salora sudah dewasa. Pastinya Salora ingin mempunyai kehidupan
lebih baik lagi.
“Baiklah, Salora! Nenek
merestuimu,” ucap nenek Amara. “Besok kamu bisa berangkat ke kota.”
Salora langsung memeluk nenek
Amara sambil menangis. “Terima kasih, Nek!”
Nenek Amara menganguk. “Sekarang kamu istirahat saja!”
Esok harinya, saat matahari sudah
terbit, Salora sudah bersiap akan meninggalkan rumah nenek Amara. Tiba-tiba
terdengar derap langkah kuda. Tidak lama, ada dua orang laki-laki berkuda
berhenti di depan rumah nenek Amara. Tentu saja nenek Amara dan Salora terkejut.
“Kami mencari Nenek Amara dan Salora,” kata
salah satu lelaki itu.
“Aku Amara, dan ini Salora!”
tunjuk nenek Amara pada Salora. “Ada apa mencari kami?”
“Kami diutus oleh Tuan Federik
untuk menjemput Nenek Amara dan Salora,” jawab lelaki itu.
Nenek Amara dan Salora saling berpandangan.
Mereka sama sekali tidak mengenal Tuan Federik.
“Ayo, Nek! Kita harus bergegas
sebelum siang. Percayalah, kami orang baik! Kereta kuda sudah kami siapkan di
tepi jalan.”
Dengan sedikit ragu, nenek Amara dan Salora
ikut naik kereta kuda yang sudah disediakan di tepi jalan. Ternyata perjalanan
sangat jauh. Menjelang sore, mereka baru sampai di tujuan.
Pintu besar segera terbuka. “Silakan masuk
Nenek Amara dan Salora. Tuan Federik sudah menunggu,” kata salah satu penjaga
rumah dengan sopan.
Dengan ragu, nenek Amara dan Salora
memasuki rumah besar itu. Mereka diantar ke salah satu ruangan.
“Selamat datang di rumah saya
nenek Amara dan Salora!”
“Ramon???” ucap nenek Amara dan Salora bersamaan. Mereka
sanggat terkejut. “Apaka yang kamu lakukan di rumah Tuan Federik?”
“Nama saya Federik Ramon, Nek!
Ini rumah saya. Kedua orang tua saya sudah meninggal. Sayalah yang mengolah
peninggalan orang tua saya, karena saya anak tunggal. Sebagai ucapan terima
kasih, saya meminta Nenek Amara dan Salora tinggal di rumah saya.”
“Jangan, Ramon!” tolak nenek Amara.
Nenek Amara terus menolak, tapi
Ramon terus meminta. Akhirnya, nenek Amara dan Salora tinggal di rumah Ramon. Nenek
Amara tetap meramu obat untuk masyarakat sekitar, sedangkan Salora menjadi asisten
pribadinya. Ramon dan Salora akhirnya menikah dan hidup bahagia selamanya. Nenek
Amara sangat bahagia.
Bambang Irwanto
0 Response to "Kebaikan Nenek Amara"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung ke Rumah Kurcaci Pos. Tidak diperkenankan menggunakan konten di blog ini, tanpa seizin Kurcaci Pos. Terima kasih.